Rabu, 04 Februari 2009

Wanita Menjadi Pemimpin: Suatu Ajang Pembuktian demi Kesetaraan Gender

Isu gender di era global mayoritas adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.

Gender sendiri berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dibedakan secara jelas kata seks dan gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata-kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian sex merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (2005).

Mengapa terjadi ‘perbedaan’ gender? Mengapa manusia yang (hanya) memiliki perbedaan kelamin dilakukan secara tidak setara? Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing.

Hal yang menarik untuk dikaji dan dibahas lebih lanjut adalah bagaimana kaum yang awalnya dipandang ‘sebelah-mata’ (misogyny), dan memiliki bermacam-macam anggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif yang mengejawantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik; dapat bangkit dan membuktikan keeksisannya di segala bidang kehidupan. Bahkan beberapa perempuan masa kini diklaim lebih superior daripada laki-laki.

Dapat dimaklumi jika sampai saat ini kaum perempuan masih menyimpan sakit hati, sebab sejak zaman dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki (Isa 2005). Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang keladi kejatuhan Adam dari surga. Akibatnya, peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah-tangga saja. Namun sekarang tidaklah jadi soal bagaimana perempuan diperlakukan pada zaman dulu. Lebih baik memfokuskan pada bagaimana merubah stereotype tentang perempuan yang telah berkembang tersebut.

Arif (2005), yang merujuk pada studi Ellmann di 1968, serta Frances dan Joseph Gies di 1978, menyebutkan bahwa gerakan yang menyebut dirinya feminisme bermula dari seorang wanita yang sudah dianggap oleh kaum feminis sebagai nenek-moyang mereka, Mary Wollstonecraft. Lewat bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (London, 1792), ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage). Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah-tangga dan `penjara-penjara' lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan `dari sana-nya'. Laki-laki pun, kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal, ujarnya.

Masih dalam tulisannya mengenai feminisme dan isu gender, Arif (2005) menggambarkan gebrakan Wollstonecraft ini menggema ke seantero Eropa hingga Amerika. Tercatat juga tokoh-tokoh lain semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion[1] (1882-1962) di Perancis, Anna Kuliscioff[2] (1854-1925) di Italia, Carmen de Burgos alias `Colombine' (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull[3] (1838-1927).

Selain hak pendidikan dan politik, aktivis perempuan sejak dulu juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) segera dihapuskan. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Bahkan, Arif (2005) menyebutkan pemerintah di kala itu diminta mendirikan tempat-tempat penitipan anak.

Agenda emansipasi selanjutnya ialah bagaimana membebaskan wanita dari `penjara kesadaran'nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world).

Perbedaan gender yang mendunia ini kemudian mulai menuju pintu kesetaraan ketika wanita-wanita terhebat dunia menunjukkan taringnya; wanita mencoba menjadi pemimpin (tanpa bermaksud menggantikan laki-laki) yang membuat perbedaan kelamin menjadi tidak berarti. Pemimpin di sini maknanya relatif; yang diamaksudkan bukan hanya pemimpin negara, namun lebih menekankan pada aksi yang ditunjukkan wanita dalam perannya sebagai pioner. Siapa lagi yang berusaha mengubahnya, kalau bukan kaum perempuan itu sendiri. Mulai dari Evita Peron di Argentina, Margaret Tatcher dari Inggris, Raden Ajeng Kartini di Indonesia, mantan presiden Megawati, Hilary Clinton yang merupakan calon Presiden Amerika Serikat, sampai yang telah diseru-serukan sebagai presiden tercantik di dunia, Cristina Fernandez, yang juga dari Argentina (Jouhana 2007).

Kaum perempuan kredibel dunia seringkali unjuk gigi dalam bidang politik, sosial-kemanusiaan, dan bahkan sebagai agen intelejen negara yang membuat mereka dipandang tinggi oleh masarakat. Namun tak jarang juga sepak terjang wanita di dunia perpolitikan justru dijadikan alat politik. Lihat saja saat Megawati Sukarnoputri mulai menunjukkan perhatiannya terhadap dunia politik Indonesia, sejak itu mulai diisukan di dalam masyarakat, apakah sebagai wanita dan lebih-lebih sebagai ibu rumahtangga, Megawati yang sebelumnya tidak punya pengalaman politik apapun, diragukan sepak terjangnya dalam memimpin. Jadi, ia harus bekerja dua kali lebih keras dari politisi laki-laki agar diakui keeksisannya.

Para politisi yang menggunakan dan mempolitisasi isu gender untuk kepentingan seketika dari golongannya yang sempit, sama sekali tidak punya hati nurani dan pengertian mengenai kaum perempuan sebagai insan dan warga dunia  yang juga punya hak azasi sebagai seperti dinyatakan dalam ‘The Universal Declaration of Human Rights’ (Isa 2005).

Tentu, sejak semula isu itu mengandung dua motif. Satu, motif politik, sesungguhnya ini yang lebih penting, tetapi kita sisihkan sementara , untuk nanti dimasuki belakangan. Satu lagi,  menyangkut isu wanita dari pandangan tradisional ataupun dari pandangan religi. Hal yang jadi persoalan, apakah wanita itu samasederajat  dengan laki-laki? Lebih jauh lagi, ada pandangan bahwa perempuan itu, sebagai mahluk Tuhan, kedudukannya adalah sebagai  pendamping laki-laki semata. Sangat ditekankan keharusan perempuan itu mengabdi dan setia pada suaminya. Sedangkan sang suami, kapan saja  ia berkenan, boleh menambah istri satu lagi, atau malah sampai tiga lagi, di samping ‘istri tuanya’. Dari pandangan feodal di Indonesia dan di Timur Tengah misalnya (2005), sang sultan, raja, syekh dan keluarganya yang laki-laki  dan penguasa feodal; asal saja mampu membiayai,  bisa saja punya sebanyak mungkin selir atau ‘harem’ menurut selera yang bersangkutan.. Hal itu dianggap wajar dan boleh-boleh saja. Semuanya adalah karena kedudukan istimewa laki-laki itu, menurut orang-orang berpandangan sempit, sudah ditentukan oleh sang pencipta.

Segi lain yang menyangkut  hak politik di dunia internasional, di Kuwait misalnya,  sampai sekarang perempuan tidak punya hak pilih. Apalagi di Afghanistan yang Talibanis, perempuan itu  tidak boleh bekerja di tempat umum, tidak boleh berpendidikan tinggi. Di situ keluar rumahpun wanita tidak boleh, kecuali ditemani seseorang yang adalah muhrimnya. Di Belanda, sebuah partai Kristen, membolehkan partainya merekrut anggota dan dukungan dari kaum perempuan, tetapi dengan tegas melarang perempuan menjabat kedudukan pimpinan dalam partai-nya. Di dunia masalah hak perempuan sebagai manusia yang sedrajat dengan laki-laki masih soal besar, juga di Indonesia masalah itu masih soal besar.

Isu hak ataupun kemampuan perempuan sebagai pemimpin, dipergunjingkan dengan santer lagi, ketika Megawati menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di zaman Orde Baru, kemudian tambah santer ketika beliau  dipilih menjadi Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) (Isa 2001). Lebih menonjol lagi,  pada saat beliau menunjukkan kebebasannya sebagai insan politik, yang dalam keadaan tekanan politik Orba begitu ketat, namun berani berhadap-hadapan dengan kehendak dan politik mantan presiden Suharto mengenai hak partai-partai politik yang dizinkannya eksis dan melakukan kegiatan yang amat terbatas; tentu saja dengan pengecualian Golongan Karya (Golkar) yang ikut berkuasa dan punya hak-hak istimewa.
Ketika Mega terang-terangan berkonfrontasi dengan Soeharto, yang masih kukuh kedudukan kekuasaannya saat itu, dan saat Mega melawan intrik Soeharto untuk menurunkannya dari kedudukan ketua umum PDI, dengan antara lain. mengadakan kongres PDI–Suryadi di Medan, dan sebagainya; Mega berani berlawan. Tibalah saat yang paling krusial, yaitu pada detik Mega menyatakan dirinya bersedia untuk menggantikan Soeharto sebagai presiden, jika itu yang dikehendaki oleh massa PDI dan rakyat.  Ini berarti konflik sudah mencapai titik puncak kemurkaan Orde Baru .Tak ayal lagi, Orde Baru dan kekuatan politik pendukungnya seperti Golongan Karya dan Partai Pembangunan Pancasila ketika itu, mengambil keputusan final  untuk melakukan ‘perang total’ menentang Mega. Yang menjadi sasaran mereka ialah Mega sebagai politikus yang berani melawan Orba, dan Mega sebagai perempuan yang dianggap sudah melewati batas, yang berani melawan laki-laki sampai terang-terangan berani tampil untuk menggantikan Soeharto (Isa 2001).
Dari perlawanannya terhadap tekanan dan tindakan anti-demokratis dari rezim Orde Baru, Megawati Soekarnoputri menunjukkan kepribadiannya sebagai insan politik yang tidak tunduk terhadap ketidak-adilan. Mega juga menunjukkan kekonsistennya berpegang pada prinsip-prinsip perjuangan untuk menegakkan hukum di negeri kita ini. Beliau menolak cara kekerasan dalam perjuangan untuk reformasi dan demokrasi. Beliau berpegang pada etika politik dalam perjuangan politik yang rumit. Beliau menunjukkan keteguhannya memegang prinsip bahwa perjuangan politik harus konstitusional. Ini keyakinan beliau. Seperti yang juga diusahakan oleh Bung Karno, ayah Megawati, untuk mencegah pertumpahan darah dalam melaksanakan perjuangan politik demi kesatuan dan keutuhan bangsa. Meskipun, akhirnya Bung Karno sendiri yang menjadi korban dari prinsip yang diperjuangkannya itu.
Keraguan juga nampak pada raut wajah politisi-politisi Amerika Serikat ketika Hilary Clinton mencalonkan diri jadi Presiden. Raut wajah tersebut bahkan berubah menjadi kerut dan ketakjuban seiring dengan penjagoan Hilary oleh partainya dan mayoritas rakyat Amerika. Tanpa beliau mencalonkan diri sebagai presiden pun, dirinya tetaplah sosok yang membuat takjub banyak orang dengan masuk dalam jajaran 50 besar pengacara berpengaruh versi majalah Forbes Amerika Serikat (CNN News 2007). Plus, beliau sangat tahan banting dan tabah dalam menjalani cobaan hidup; terbukti dari kebesaran hatinya menerima Bill Clinton kembali setelah perselingkuhan suaminya itu.
Tak salah ada ungkapan “Behind every great man, there is a great woman”. Selain ungkapan ini telah dibuktikan dengan kepemimpinan Megawati dan reputasi Hilary Clinton, Cristina Fernandez juga ikut memperkuat pameo tersebut. Setelah selama ini menjadi tulang punggung suaminya, ia akhirnya berlaga maju merebut kursi kepresidenan dengan kemenangan 45% suara (Jouhana 2007, p.64). Bahkan Cristina kerap disamak-samakan dengan Hilary Clinton-nya Amerika Serikat. Namun yang membedakan mereka berdua adalah, Cristina sudah berkecimpung di dunia pepolitikan jauh sebelum suaminya, Nestor Kirchner, jadi presiden. Beberapa wanita hebat mungkin kerap disama-samakan, namun itu tidak menghentikan mereka unjuk gigi di dunianya masing-masing dan perlahan-lahan menghapuskan keraguan orang akan kredibilitas perempuan dan merintis jalan kaum perempuan pada kesetaraan gender yang holistik.


[1]  Penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, "Femme: ose être!" (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!)

[2] Pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici.

[3] Wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai presiden pada 1872


Referensi

 

 

______, 2005, Gender di Era Global, viewed 30 December 2007, <http://najlah.blogspot.com/2005/01/gender-di-era-global.html>.

Arif, Syamsuddin, 2005, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender, viewed 30 December 2007, .

Ellmann , John Mary, 1968, Thinking About Women, New York.

Gies, Frances&Joseph, Women in the Middle Ages, New York.

Hillary Rodham Clinton, Senator from New York, 2007, news video, CNN International TV, updated Thu, 13 December.

Isa, Ibrahim, 2001, Bagaimana Isu Gender Dijadikan Alat Politik, viewed 30 December 2007, .

Jouhana, Dinda. 2007. Cristina Fernandez: Jelita Presiden Argentina. Soap Magazine Edisi Desember.

United Nations Development Programme, 2000, Women’s Political Participation and Good Governance: 21st Century Challenges, viewed 30 December 2007,

Wollstonecraft, Mary, 1792, A Vindication of the Rights of Woman, London.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar