Rabu, 04 Februari 2009

Kebangkitan Nasional Cina dan Pembelajaran untuk Indonesia


Natasha Karina A.

070610216

 

Abstrak

 

Kebangkitan nasional di Cina sangat menarik untuk dikaji, ditelaah dan diperbandingkan dengan kebangkitan nasional di Indonesia. Dilihat dari pendeklarasian kemerdekaan, Indonesia lebih dulu melakukannya yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Cina pada 1 Oktober 1949. Indonesia pun pada pemerintahan Soekarno pernah berlaku seperti Cina, yaitu menutup rapat-rapat pintu investasi asing. Namun sayang usaha Soekarno tumbang di tengah jalan meninggalkan Indonesia memiliki visi ekonomi yang tidak jelas, sedangakan Cina sedang dengan getolnya dibangun oleh seroang visioner Mao Ze Dong. Artikel ini berusaha memaparkan apa yang sebenarnya menjadi faktor distingtif pembeda kebangkitan nasional di Cina dan Indonesia, serta apa yang bisa kita semua pelajari tentang kebangkita Cina secara ekonomi serta kontribusinya untuk kawasan.

 

Kebangkitan nasional tentu dimaknai sebagai peringatan sakral di Indonesia; tentu karena setiap tahun diperingati setiap 20 Mei dan hari tersebut seyogyanya adalah suatu momen turning point bagi bangsa dan negara untuk bangkit rasa patriotisme dan nasionalismenya. Tapi yang saya lihat sejauh ini, kebangkitan nasional di negara kita tak ubahnya suatu fenomena berkibarnya merah putih di televisi (selain pada acara 17 Agustus-an), maraknya sitkom-sitkom dengan tema perjuangan, pemberian penghargaan ini itu dan tetek bengek lainnya. Bukannya mengenang sejarah bangsa dan menunjukkan nasionalisme hal yang buruk, tapi tidakkah seharusnya kebangkitan nasional dimaknai dengan lebih dalam sebagai perjuangan sampai titik darah penghabisan untuk membangun bangsa??

Fenomena akhir-akhir ini tentang rencana (pasti) kenaikan BBM per tanggal 1 Juni, belum jelasnya masalah ganti rugi Lapindo, kelangkaan minyak tanah dan masih banyak problem mendasar lainnya sangat ironis dengan banyaknya premiere film-film baru di bioskop kesayangan dan lebih ironis lagi bahkan masih banyak yang tak tahu menahu bahkan acuh tak acuh terhadap problem bangsa. Dari sini akan timbul pertanyaan, sebenarnya di manakah letak kesalahan nasionalisme Indonesia dan cara memaknai kebangkitan nasionalnya? Pertanyaan ini akan dijawab seriring saya memaparkan sekilas tentang pembangunan nasionalisme dan ekonomi Cina.

Mao Ze Dong mendeklarasikan Cina sebagai negara komunis pada 1 Oktober 1949. Ini terjadi setelah Partai Komunis Cina menguasai Cina Daratan dan Kuo Min Tang (KMT), partai oposisi melarikan diri ke Taiwan. Saat itu juga Mae Ze Dong mendirikan negara komunis, negara berkekuatan mobilisasi pada rakyat.

Rezim di Republik Rakyat Cina (RRC) dapat disebut sebagai otokratis, komunis dan sosialis. Namun anggota komunis yang lebih ‘kiri’ menjulukinya negara kapitalis. Di bawah Mao, pendukung era Maoisme menyatakan pembanguna infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan di RRC meningkatkan taraf hidup rakyat. Meskipun menurut beberapa pemerhati Barat dan rakyat Cina liberal kebijakannya terlalu mengekang dan represif. Tapi memang tak dapat disangkal Mao telah berkontribusi banyak lewat kampanye Lompatan Jauh ke Depan yang memupuk kembali nasionalisme pemuda-pemudi Cina serta Revolusi Budaya yang berusaha mengembalikan nilai-nilai budaya Cina yang terkikis zaman. Namun dalam pelaksanaan keduanya tak sedikit mengakibatkan hilangnya korban jiwa dan menghabiskan biaya ekonomi yang besar. Lompatan Jauh ke Depan, pada khusunya, mendahului periode kelaparan yang besar di Cina yang, menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 20-30 juta orang; kebanyakan analis Barat dan Cina mengatakan ini disebabkan Lompatan Jauh ke Depan namun Mao dan lainnya mengatakan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan angka kematian tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek.

Republik Rakyat Cina mencirikan ekonominya sebagai Sosialisme dengan ciri Cina. Sejak akhir 1978, kepemimpinan Cina telah memperbarui ekonomi dari ekonomi terencana Soviet ke ekonomi yang berorientasi pasar (market oriented economy) tapi masih dalam kerangka kerja politik yang kaku dari Partai Komunis (sebagai partai penguasa tunggal di Cina, seperti juga di Uni Soviet). Untuk itu para pejabat meningkatkan kekuasaan pejabat lokal dan memasang manajer dalam industri, mengijinkan perusahaan berskala kecil dalam jasa dan produksi ringan, dan membuka ekonomi terhadap perdagangan asing dan investasi. Pemerintah juga mengganti sistem pertanggungjawaban para keluaga dalam pertanian dalam penggantian sistem lama yang berdasarkan penggabunggan, menambah kuasa pegawai setempat dan pengurus kilang dalam industri, dan memperbolehkan berbagai usahawan dalam layanan dan perkilangan ringan, dan membuka ekonomi pada perdagangan dan pelabuhan asing. Pengawasan harga juga telah dilonggarkan. Ini mengakibatkan Cina daratan berubah dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi campuran.

Reformasi ekonomi tahun 1978 inilah yang menjadi titik balik dalam sejarah ekonomi Cina. Diawali dengan kunjungan Nixon ke Cina era Perang Dingin, dibukanya kembali hubungan Cina-Amerika Serikat dengan Komunike Shanghai dan berlanjutlah kerjasama-kerjasama selanjutnya dari situ. Cina boleh disebut negara komunis, tapi ia juga realistis. Cina sepertinya sejak awal telah memprediksi kejatuhan komunis Soviet, oleh karena itu ia membuka tali hubungan relasi dengan AS sebelum komunis benar-benar runtuh. Meski begitu kebijakan ke dalam Cina tetap berbasis sosialisme, hanya politik dan ekonomi luar negerinya saja yang mulai terbuka.

Satu hal signifikan dari Cina yang membuatnya menjadi salah satu New Industrial Country (NIC) adalah pembagian porsi investasi asing oleh pemerintah setempat. Regulasi baik politik dan ekonomi di Cina dirumuskan dan dijalankan dengan seksama. Cina dari awal tidak mau bergantung sepenuhnya pada negara lain, sehingga ia membagi investasi asing dari Amerika Serikat, Jepang, Korea dll secara seimbang. Dari situ kekuatan bermain cina secara regional dan internasional sudha dapat diperhitungkan. Flying geese (dana investasi) yang tersebar di daerah sekitar Cina seperti Taiwan, Kepulauan Fujian, dan beberapa daerah lain juga merata. Pembagian porsi investasi ini, seperti yang juga dikatakan oleh Bapak Rene L. Pattiradjawane dalam Seminar Kebangkitan Nasional, selain membuat Cina spesial juga lain daripada yang lain.

Hal lain yang dikatakan oleh Bung Rene adalah juga bahwa pertumbuhan ekonomi Cina, dikur dari GDP-nya, bukan yang nomor satu di dunia, melainkan nomor empat. Perlu diketahui, bukan karena Cina kalah dengan negara lain tapi justru dikarenakan kestabilan ekonomi Cina dan rencana jangka panjang yang luar biasa. Nomor satu diduduki oleh AS dan kedua oleh Jepang. Memang ekonomi Cina belum dapat menyaingi Jepang, tapi tuntutan globalisasi dan meningkatnya harga-harga komoditi baik ekspor maupun impor menyebabkan pemasok barang lebih memilih Cina sebagai perakit barang-barang etrtentu dan sekaligus menjadikan Cina sebagai pasar. Barang-barang tadi oleh Cina diproduksi secara masal dan dipasarkan ke kawasan di sekitarnya, termasuk Asia Tenggara.

Pemerintah RRC tidak suka menekankan kesamarataan saat mulai membangun ekonominya, sebaliknya pemerintah menekankan peningkatan pendapatan pribadi dan konsumsi dan memperkenalkan sistem manajemen baru untuk meningkatkan produktivitas. Pemerintah juga memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kendaraan utama untuk pertumbuhan ekonomi, untuk itu mereka mendirikan lebih dari 2000 Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) di mana hukum investasi direnggangkan untuk menarik modal asing.

Satu hal yang kita amati, peranan AS di kawasan Asia sudah melorot dan diambil alih oleh Cina, yang secara terukur dan terarah memosisikan sebagai sebuah kekuatan globalisasi, dan secara bersamaan memainkan diplomasi bilateral dan multilateral yang diproyeksikan bagi pembangunan ekonomi nasionalnya.

Persoalannya, perdagangan dan hubungan ekonomi dengan AS sebenarnya tidak menjadi sebuah kalkulasi penting karena sudah diselesaikan secara komprehensif ketika Cina menjadi anggota WTO pada akhir tahun 2001. Perjanjian perdagangan bilateral RRC-AS dalam kerangka WTO adalah paling komprehensif dari seluruh perjanjian perdagangan karena rincian perjanjian yang mengikat kedua belah pihak secara konstruktif mencerminkan liberalisasi dan kompetisi yang selama ini dijagokan AS.

Akses Cina ke WTO telah mendorong mesin perdagangan China bergerak secara cepat, mencatat surplus perdagangan luar negeri mencapai 100 miliar dollar AS pada tahun 2007. Hubungan perdagangan dengan AS pun memberikan keuntungan bagi Ciina yang mencapai 200 miliar dollar AS, meningkat secara tajam dari 162 miliar dollar AS pada tahun 2004.

Ketika Cina sebagai negara pertama di luar ASEAN menandatangani Bali Concord (ASEAN Treaty of Amity and Cooperation), kemudian diikuti Jepang dan Rusia, landasan KTT Asia Timur menjadi kokoh, menghasilkan sebuah paradigma regionalisme baru untuk mengimbangi globalisasi yang deras membuka peluang kerja sama perdagangan dan ekonomi maupun keamanan yang selama ini terbelenggu dalam payung keamanan AS.

Akan tetapi, jurang pemisah kekayaan di antara pesisiran pantai dan kawasan pendalaman Cina masih amat besar. Untuk menandingi keadaan yang berpotensi mengundang bahaya ini, pemerintah melaksanakan strategi Pembangunan Cina Barat pada tahun 2000, Pembangunan Kembali Cina Timur Laut pada tahun 2003, dan Kebangkitan Kawasan Cina Tengah pada tahun 2004, semuanya bertujuan membantu kawasan pedalaman Cina turut membangun bersama.

Namun terlepas dari usaha-usaha yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan, pembangunan masih tidak merata dan hanya terasa di beberapa kota penting sepeti Beijing, Shanghai, Guang Zhou dan beberapa kota lain. Hal ini tidak jadi masalah berarti juga karena menurut pemerintah Cina, HAM rakyat Cina sudha tepenuhi secara lahiriah (sandang, pangan dan papan). Karena memang di Cina, HAM dipahami berbeda dengan di Barat. Rakyat Cina tidak mengenal kebebasan pers, kebebasan berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat. Tapi memang sistem speeti itulah yang telah dijalankan sejak ribuan tahun lalu dan akan sangat sulit untuk merombak akar budaya Cina yang berpangkal pada Konfusianisme.

Budaya adalah suatu hal distingtif yang merupakan nilai kolot dari Cina, sekaligus faktor pemicu untuk maju. Cina pernah mengalami masa-masa di mana ia mengadopsi budaya luar tnpa disaring dan berujung pada kehancuran. Oleh karena itu, pemerintah menyadari kebutuhan rakyatnya dan akhirnya memberi solusi dengan menjalankan pemerintahan yang semi otoriter dan represif. Ini juga karena wilayah satelit Cina (Tibet, dan sekitarnya) sangat banyak dan luas sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan otonomi daerah sepenuhnya di Cina, karena hal itu hanya akan berujung pada perpecahan dan separatisme. Berbeda dengan di Indonesia yang justru memberi kendali otonomi pada masing-masing pemerintah daerah sehingga terkadang terdapat insinkronisasi antara kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Ditambah lagi 80% wilayah Indonesia yang notabene adalah laut, bukan dianggap sebagai pemersatu tapi justru sebagai pemisah antar pulau. Sudut pandang ini saja sudah cukup membuktikan kedangkalan cara berpikir yang harus diubah.

Lesson learned dari Cina untuk Indonesia sejauh yang bisa saya simpulkan adalah pertama, kita tidak boleh lupa pada jati diri sendiri seberapa deras pun arus informasi dari luar yang masuk. Boleh saja mengadopsi suatu sistem, terutama sistem pemerintahan, tapi seyogyanya dijalankan sesuai kultur yang sudah ada sebelumnya, tidak sekonyongkonyong diadopsi dan diaplikasikan. Kedua, boleh saja membuka pintu investasi asing selebar-lebarnya dan melakukan swastanisasi, tapi pemain-pemain di dalamnya juga harus diperhitungkan dan tidak boleh ada pemain tunggal yang menghegemon pilar-pilar ekonomi negara ini karena akan mengakibatkan ketimpangan dan kepincangan ekonomi, politik dan sosial. Ketiga, aktif dalam organisasi internasional boleh saja dan sangat disarankan, tapi juga harus dilihat perhitungan untung-ruginya, kans untuk bermain di dalamnya, serta bargaining posistion diri sendiri. Keempat, janagn sampai melupakan akar sejarah dan budaya masyarakat, karena kedua hal inilah yang terpenting dan membentuk identitas suatu bangsa. Kita tidka mengenal bangsa dan negara sendiri kalau masih tidak mengerti karakter, potensi dan budi pekerti luhur nenek moyang.

 

 

 


Referensi

 

Pattirajawane, René L., 2005, Cina sebagai Jangkar Regionalisme, www.kompascetak.com, diakses tanggal 23 Maret 2008.

Pattirajawane, René L., 2008, Seminar Hari Kebangkitan Nasional: Pembelajaran dari Cina dan India, Surabaya: Universitas Airlangga.

www.state.gov, diakses tanggal 23 Maret 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar