Rabu, 04 Februari 2009

Lembaga Negara Butuh Pengawas Independen

Entah kita sebagai warga negara Indonesia harus berbangga atau bersedih atas tertangkapnya Irawandy Joenoes sehubungan dengan skandal jual beli tanah. Di satu sisi jelas reputasi yang selama ini berusaha dibangun oleh Komisis Yudisial luluh lantak. Tapi di sisi lain, merupakan pembuktian kinerja cemerlang Badan Pemberantas Korupsi.

Sungguh ironi, sebuah anggota terhormat badan pemerintahan yang memiliki tugas normatif mengawasi perilaku hakim dalam rangka menegakkaan kehormatan dan keluhuran martabat, dapat berbuat sedemikian bejatnya. Anggota Komisi Yudisial dipilih oleh parpol melalui anggotanya di DPR dan dilantik oleh Presiden. Sehingga memalukan sekali bahwa pilihan ‘orang-orang terpilih’ mencoreng muka beberapa sekaligus nama lembaga yang bernanung di atasnya.

Perlu  diingat salah satu fungsi vital Komisi Yudisial, menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 Pasal 14, adalah menyeleksi calon hakim agung. Dapat dibayangkan, bagaimana output hakim-hakim kita bila yang merekrut saja orang-orang seperti Irawandy Joenoes. Tak heran banyak terjadi jual beli kasus dan penyelesaian kasus yang tidak tuntas, perekrutan hakimnya saja amburadul. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini adalah akhir dari elemen sensorik untuk kualitas hakim negara? Permintaan pengunduran diri Irawandy Joenoes, itu pasti. Tapi disinyalir beberapa pihak juga meminta adanya pembubaran Komisi Yudisial sehubungan dengan, dengan sangat menyesal saya katakan, buruknya kinerja mereka.

Saya tidak bermaksud mendiskreditkan apapun atau siapapun, hanya saja fakta bahwa Irawandy Joenoes, seorang dosen kriminologi terhormat dengan catatan bersih, dapat melakukan perbuatan sebejat itu hanya membuat saya mempertanyakan lebih jauh kinerja dari anggota-anggota Komisi Yudisial yang lain. Dan saya lebih bertanya-tanya lagi, sungguh perlukah adanya Komisi Yudisial dan lembaga-lembaga pemerintahan ‘baru’ yang lain? Kita tidak pernah tahu bagaimana proses penggodokan sehingga terbentuknya lembaga-lembaga ‘baru’ seperti Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah. Mungkin saja ini hanya aksi asal-asalan pemerintah untuk mereformasi infrastruktur negara, supaya dilihat melakukan sesuatu. Karena sampai pada detik ini, saya belum melihat adanya fungsi lembaga negara yang dijalankan secara akurat.

Dalam kerangka pikiran saya yang lebih ekstrem, lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia belum saatnya diberi kepercayaan penuh dalam menjalankan kinerjanya masing-masing. Oleh karena itu , dibutuhkan lembaga independen yang bertugas mengawasi kinerja lembaga-lembaga tersebut, sehingga hasil kerjanya optimal. Lembaga independen ini juga seyogyanya berisi orang-orang dengan loyalitas tinggi dan tidak berkepentingan dalam pemerintahan. Atau setidaknya, diberlakukan sistem yang menerapkan check and balance, di mana kinerja lembaga-lembaga pemerintahan saling berhubungan, saling terkait  dan saling mengawasi. Dengan begitu akan menyulitkan adanya penyelewengan tugas negara. Dan alangkah baiknya jika pemerintah kita tidak terpancing pada barometer demokrasi barat yang mengklaim ini dan itu, serta memaksakan pemberlakuan demokrasi di negara ini. Karena saya percaya tiap negara memiliki variabel-variabel yang unik, sehingga penerapan sistem pemerintahan adaptasi dari barat belum tentu cocok diaplikasikan di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar