Rabu, 04 Februari 2009

Peran APEC dalam Subsidi Sumberdaya Alam dan Kebijakan Internasional


Natasha Karina Ardiani

NIM: 070610216

 

 

Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan wadah kerja sama negara-negara di kawasan Aisa Pasifik di bidang ekonomi. APEC resmi terbentuk pada November 1989 di Canberra, Australia. Pembentukan forum ini merupakan usulan mantan Perdana Menteri Australia, Bob Hawke, yang merupakan kelanjutan dari berbagai usulan dan upaya untuk mengadakan kerja sama ekonomi regional Asia Pasifik. Ada beberapa faktor yang dominan yang mendorong lahirnya APEC, antara lain danya kekhawatiran akan gagalnya perundingan putaran Uruguay yang dapat berakibat meningkatnya proteksionisme dan munculnya kelompok-kelompok perdagangan seperti Pasar Tunggal Eropa dan Pasar Bebas Amerika Utara; perubahan besar di bidang politik dan ekonomi yang sedang terjadi dan berlangsung di Uni Soviet dan Eropa Timur. APEC merupakan forum yang fleksibel untuk membahas isu-isu ekonomi internasional, juga merupakan forum konsolidasi menuju era perdagangan terbuka dan sejalan dengan prinsip perdagangan multilateral. Salah satu pilar APEC yaitu fasilitasi perdagangan dan investasi secara langsung akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha negara anggota yakni kemudahan arus barang dan jasa antar anggota APEC. Dalam artikel ini, akan lebih menyorot tentang peran APEC dalam mensubsidi produksi sumberdaya alam (SDA) menyebabkan konsekuensi di beberapa sektor. Akan juga dipaparkan juga cara-cara efektif dalam pemberian subsidi menurut kebijakan perdagangan yg ada.

 
Keywords: APEC, sumberdaya alam, subsidi, kebijakan
 

Anggota APEC terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Cile, Jepang, Hongkong, Republik Korea, Cina Taiwan, Republik Cina, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia, Papua Nugini, Australia dan Selandia Baru. Sebagai forum regional, APEC memiliki karakteristik yang membedakannya dari berbagai forum kerjasama ekonomi kawasan lainnya, yakni sifatnya yang tidak mengikat (non-binding). Berbagai keputusan diperoleh secara konsensus dan komitmen pelaksanaannya didasarkan pada kesukarelaan (voluntarism). Selain itu APEC juga dilandasi oleh prinsip-prinsip konsultatif, komprehensif, fleksibel, transparan, regionalisme terbuka dan pengakuan atas perbedaan pembangunan antara ekonomi maju dan ekonomi berkembang.

Prinsip-prinsip yang dijalankan APEC membawa dampak lebih lanjut pada peraturan dan kebijakan lainnya. Seperti konsep tentang subsidi yang diartikan efektif jika pasar mengalokasikan produk dengan harga yang setimpal dengan ongkos sosial. Hal ini dimaksudkan untuk saling mengangkat derajat anggota APEC dan bersama-sama keluar dari keterpurukan.

Sejak berdirinya APEC sampai sekarang telah banyak subsidi yang dikeluarkan untuk negara anggota di sektor-sektor seperti batubara, perikanan, eprtanian dan lain-lain. Perlu diketahui juga pengadaan subsidi disediakan oleh negara yg tergabung Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dan sebagai timbal baliknya, terdapat penentuan proteksi impor bagi negara yg disubsidi.

Pengurangan ongkos produksi sumberdaya alam akan menurunkan ongkos marginal masyarakat. Dengan begitu, subsidi akan memiliki manfaat besar dan jangka panjang, serta mempercepat degradasi lignkungan. Dengan pola konsumsi dan penggunaan teknologi yg kontinyu, polusi dan kontiminasi, tidak heran lingkungan akan cepat rusak dan inilah dampak yg sangat ditakutkan. Jadi sejak 1994, OECD berkebijakan untuk mengurangi pemakaian lahan produksi dan memaksimalkan lahan yg ada, serta menggunakan teknologi sumberdaya alam yg lebih efisien dan ramah lingkungan. Namun meskipun OECD sudah menentukan hal-hal partikular seperti ini, masih ada saja negara yg melanggarnya.

Pelanggaran yg dilakukan negara anggota APEC terhadap peraturan, norma dan kebijakan APEC bukanlah hal yg baru. Berdirinya APEC sendiri adalah atas kemauan pribadi dan ikatan antar-negara dalam APEC tidak pernah terlalu mengikat. Selain itu, tidak seperti institusi regional Uni Eropa di mana para pembuat kebijakan adalah cartel elite, APEC kurang memiliki dasar ikatan yg kuat. Jadi tidak heran bila negara-negara anggota, meskipun sudah dibantu sedemikian rupa masih saja melanggar norma yg ada. Hal inilah yg meresahkan para pembuat kebijakan dalam eselon atas APEC.

Gareth Porter dalam jurnalnya mengenai peran APEC dalam pensubsidian sumberdaya alam ini menawarkan tiga pendekatan mengenai peraturan/kebijakan mengenai subsidi yg seyogyanya diaplikasikan oleh APEC. Menurut Porter, penerapan kebijakan tidak bisa seenaknya saja dan dipukul rata antara sektor satu dengan yg lain. Pengadopsian kebijakan WTO oleh APEC terbukti tidka membawa dampak kemakmuran. Oleh karena itu penerapan kebijakan subsidi haruslah memperhatikan sektor subsidi dan akan diterapkan kpd siapa kebijakan tersebut.

Pendekatan pertama adalah yg memfokuskan pada kebijakan perdagangan yg dianut sebuah negara. Biasanya negara akan lebih memikirkan untung rugi daripada lingkungan atau hal lain, maka harus diaplkasikan peraturna yg jelas dan general dapat berlaku pada negara dengan kebijakan perdagangan mana pun. Pendekatan lain adalah dengan menciptakan norma internasional mengenai subsidi sumberdaya alam dengan kerangka berpikir yg merujuk pada kebijakan lingkungan yg ada. Dengan ini, hukum atau peraturan berlaku secara pact sun servanda, di mana peraturan yg dibawahi peraturan lain tika boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Pendekatan ketiga adalah dengan menciptakan non-binding soft low norms. Soft law dirasa Porter dapat cukup efektif memengaruhi kebijakan nasional dalam negeri. Dalam pemberlakuan soft law tidak diberlakukan sanksi, hanya saja para pelaku kebijakan akan dapat merasakan beban politik di bahu mereka.

Idealnya, integrasi ekonomi adalah suatu hal yg dikehendaki oleh semua anggota APEC. Namun, kesepakatan tentang komitmen thd lingkungan, ongkos produksi sumberdaya alam dan hambatan tarif adalah hal-hal yg lebih dulu harus diluruskan dan dicapai kesepakatan bersama. APEC sudah berjalan sejauh ini dan usaha untuk menghilangkan subsidi secara holistik pasti merupakan impian semua negara anggota. Karena jika full-cost pricing diberlakukan terlalu cepat, tanpa ada subsidi maka disparitas yg ada akan semakin kentara dan yg akan ada justru kelesuan ekonomi. Maka dari itu Porter dalam artikelnya menyarankan pendekatan ketiga mengenai soft law yg dianggap paling efektif dapat pengaplikasian kebijakan subsidi.

 


Referensi

 

 

The Journal of Environment & Development, Vol. 6, No. 3, 276-291 (1997)
DOI: 10.1177/107049659700600304 © 1997 SAGE Publications.

www.deplu.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar