Rabu, 04 Februari 2009

Uni Eropa tahun 1990-an: Menetapkan Kembali Basis Integrasi


Teori, selain memprediksi apa yang dilakukan sistem di masa depan juga memberi kita sekelumit pengetahuan akan fenomena masa kini. Tiap teori terikat pada masanya masing-masing dan sifatnya kontekstual. Saat kita melihat fenomena Eropa sebagai sebuah komunitas, harus dipahami latar belakang mereka sebagai mantan negara imperial, teori-teori akademisi yang ada mengenai integrasi serta turut mempertimbangkan evaluasi sejarah untuk mengukur kevalidan suatu teori itu sendiri.

 

Reaksi Alami terhadap Integrasi

Federalis pada tahun 1990-an masih tetap berharap akan adanya integrasi negara-negara Eropa secara keseluruhan. Sedangkan kaum intergovermentalist meragukan hal itu. Di lain pihak, ada beberapa kemungkinan lain akan masa depan integrasi di Eropa selain dari kacamata perspektif federalis dan intergovermentalist. Perjanjian Maastricht lah yang membuka jalan baru menuju bentuk federalisme yang sentralistik, dan mengedepankan prinsip otonomi negara pada beberapa hal tertentu, namun persetujuan akan perjanjian ini memakan waktu lama dan panjang.

Fase baru integrasi ini diikuti oleh konsolidasi yang melibatkan inetgrasi negara-negara Eropa Barat. Hal ini membuktikan bahwa kolektifitas antar negara Eropa ada dan potensial untuk berlanjut, meskipun ada keragu-raguan dan absennya antusiasme. Perjanjian Maastricht yang ada pun berefek hanya pada beberapa negara Eropa saja dan mencapai puncaknya saat terprakarsa Single European Act pada tahun 1986 dan dilengkapi oleh single market nprocess di tahun 1992. Meskipun begitu, kemajuan negara-negara Eropa (Inggris, Perancis, jerman dan Italia) masih belum pesat dan status mereka akan komunitas bersama masih terombang-ambing. Adanya faktor kelompok anti-Eropa yang tidak senang akan integrasi Eropa juga salah satu faktor sulitnya terbentuk komunitas bersama yang kondusif.

Desember 1991, akhirnya Perjanjian Maastricht disetujui dan pilihan-pilihan baru terbentang di depan mata. Pertama, dapat terbentuk negara Eropa, kedua, terbentuk komunitas negara-negara terpisah sebagai entitas yang berbeda. Akhirnya terpilih alkternatif komunitas unilateralisme kompetitif. Dan kali ini mereka berjanji akna berusaha tidak seperti integrasi pada tahun 1970-an saat Eropa koleps karena kenaikan kurs dollar. Negara-negara sepakat akan menjalankan hubungan mutual satu sama lain. Dan meskipun terjadi tabrak kepentingan antar Inggris dan Brussel, mereka berjanji tidak akan mengutak-atik kepentingan kolektif.

Jerman yang yang saat itu baru diunifikasi mengkhawatirkan negara-negara tetangganya. Di satu sisi Jerman erat dengan Eropa Timur dan di sisi lain masuk dalma komunitas Eropa Barat. Italia mengejar kepentingannya di Eropa Tenggara Inggris juga masih menimbang-nimbang tawaran ‘persahabatan’ dari AS. Uni Eropa (UE) gagal dengan kebijakannya di pecahan Yugoslavia. Perebutan pasar di Timur Jauh (Asia Tenggara) juga menjadi faktor lemahnya bonding antar negara Eropa dan dengan demikian menghambat integrasi.

 

Pengukuran terhadap Integrasi

Selain keinginan masing-masing anggota, integrasi memerlukan beberapa faktor penunjan yang antara lain perlakuan yg baik satu sama lain, sikap mudah bekerjasama, penyesuaian kepentingan pemerintahan dan kolektif komunitas, penyamaan prinsip dan nilai-nilai, serta peningkatan level koneftifitas ekonomi. Perlakuan yang baik berakibat hasil kerja yg baik dan dukungan dari rakyat thd kebijakan.

Poin penting dalam integrasi adalah basis persamaan pada level tertentu yg berimplikasi pada pembuatan kebijakan. Single European Act pasal 30 akhirnya memberi pijakan jelas akan pembuatan kebijakan ini. Pasal ini menyebutkan bahwa pemerintah-pemerintahan setuju untuk menegakkan prinsip dan tujuan bersama dan menghindari aksi yg kurang efisien dan bersifat kohesif dalam hubungan internasional organisasi.

Sejak adanya hal ini, Inggris menjadi lebih fokus pada UE dan sedikit mengabaikan negara persemakmurannya. Perancis menjadi lebih sedikit terlibat pada negara-negara francophone. Belgia dan Denmark juga memfokuskan diri pada UE dan progress yg dibuatnya.

Bagaimana pun rezim tidak dibentuk dalam semalam. Banyak proses yg harus dijalani salah satunya dalam bidang ekonomi. Faktor ekonomi justru berhasil membentuk bonding yg kuat antar negara akibat ketergantungan ekonomi satu sama lain. Antara negara satu dg yg lain, kesejahteraan hampir merata dan rakyatnya makmur. Naiknya interkoneksi ekonomi membawa UE ke dalam level integrasi baru yg mengarah pada terbentuknya sistem pemerintahan rezim komunitas.

 

Latar Teoretik

Teori dalam hubungan internasional yg menyangkut integrasi selalu memiliki elemen utama yaitu proses dan hasil akhir. Beberapa teori yg mengedepanka proses yaitu neofungsionalisme, fungsionalisme dan federalisme. Sedangkan teori yg membahas secara detail hasil akhir adalah federalisme, consociationalism, dan intergovermentalism. Berikut ini poin-poin utama teori mainstream mengenai integrasi:

1.     Neofungsionalisme: fokus pada dinamiak integratif, sistem pengambilan keputusan. Tujuan membawa integrasi ke level baru dg ekonomi sbg penghubung teknisnya.

2.     Fungsionalisme: tidak terllu detail pada pengambilan keputusan, mengutamakan keuntungan, institusi u/ membentuk komunitas politik, menghindarkan perang atas dasar kerjasama yg dilakukan.

3.     Federalisme (a): mengutamakan solusi konstitusional dlm penyelesaian masalah, menjadikan perbedaan bukan menjadi masalah tapi tantangan thd institusi.

4.     Federalisme (b): pemerintahan federal yg berdaulat, mengutamakan kepentingan mayoritas dg cara voting, ada check and balances antar negara anggota, kekuasaan federal terbatas.

5.     Consociationalism: level otonomi yg lebih tinggi dg kepentingan anggota yg terlindungi, pemerintahan ats didominasi cartel of elites. Keputusan para elit berdasar konsensus dan tidak ada mayoritasnisme.

6.     Intergovermentalism: negara mempertahankan supremasinya yg tanpa syarat, supremasi yg lebih tinggi itu ada dan perlu dlm dunia moderen sbg instrumen negara u/ bertahan dan beradaptasi.

Consociationalism muncul ke permukaan dan menjadi santer dibicarakan karena bahasan akan efek spillover yg sudah terjadi di Eropa dan nilai-nilai yg dikandungnya. Meskipun neofungsionalis menawarkan teori integrasi dg hasil spt Amerika Utara dan pasar tunggalnya, nilai-nilai fungsionalis masih kurang mengena di antara cartel of elite Eropa.

Consociationalist juga mengemukakan bahwa hubungan yg terjadi antar negara Eropa nantinya horisontal (antar negara) dan vertikal (negara-negara dan institusi). Lijphart berargumen bahwa ada beberapa hal menggambarkan UE pertengahan 1990, yaitu anggota-anggot UE sudah memiliki rasa toleransi dan pengertian satu sama lain. Kedua, negara didominasi oleh cartel of elites, yg menjadi basis pengambilan keputusan. Ketiga, para elit memiliki hak veto yg membuat pengambilan keputusan oleh negara anggota penuh pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu. Dan terakhir adanya hukum proporsional mengenai representasi dari institusi-institusi populasi, birokrasi, sistem legal secara proporsional.

Kelemahan consociationalism adalah sulitnya u/ memeprtahankan stabilitas, jadi diperlukan adanya suntikan entusiasme bagi negara-negara anggota UE. Cartel of elites bergantung pada derajat homogenitas yg tinggi, sehingga membutuhkan teknik u/ mempertahankan disiplin internal. Consociationalism menekan adanya denominator, konensus yg ada pun dibatasi sehingga segmen kepentingan dapat seimbang.

 

Consociationalism sebagai Cara memahami Uni Eropa

Cartel of elites acapkali menuai dilema mengenai bagaimana menyeimbangkan kepentingan negara dan optimalisasinya dengan bagaimana meyesuaikannya dg kepentingan kolektif. Consociationalism di sisi lain menggaris bawahi hubungan yg dipimpin dg yg memimpin, bahwa kepentingan kedua pihak mungkin akan tidak sejalan beriringan. Seperti yg terjadi pada PM Inggris John Major, saat ia mati-matian mengejar kepentingan di UE dan menggalang kekuatan di Inggris. Teori Consociationalism akhirnya muncul dg solusi mengenai proses integrasi yaitu anggota cartel of elites membuat persetujuan dlm skala tertentu mengenai tujuan masing-masing dan walaupun ada konflik, tidak akan mengganggu kepentingan kolektif. Kedua, tiap negara boleh menawarkan solusi/ perjanjian jika ada konflik.

Consociationalism sangat peduli thd kaum minoritas dan mengajukan representasi terpisah, tidak sepeti yg dilakukan fungsionalis dan neofungsionalis. Dengan ini, Consociationalism menjadikan komunitas sbg ‘lahan bahagia’ bagi kapital/modal serta para anggotanya. Selain itu consociationalist juga menawarkan adanya komisi pengawas dlm institusi, agar para elit dan anggota menjalanakn tugasnya dg lebih hati-hati serta menghindarkan pengambilan putusan yg gegabah. Para pengawas dipilih langsung oleh pemerintah masing-masing.

 

Consociation dan Sistem Regional

Pandangan lama melihat Eropa sebagai int’l society yg terdiri dari beebrapa negara, hidup berdampingan sembari menjalankan chenck and balances. Negara-negaranya menjalankan hubungan simbiotik. Namun perkembangan teori sekarang, Consociationalism telah membuka jalan baru bagi Eropa yg memiliki dua lini, yaitu lini antar-state dan state-institusi. Negara selain mempromosikan kepentingan negara juga merepresentasikan kepentingan kolektif, serta bekerja sama menghindarkan ancama ekonomi dan militer. Satu lagi keuntungan yg dimiliki institusi integrasi ini yaitu homogenitas populasinya yaitu kausakoid.

UE juga adalah insititusi rasional yg mengdepankan pengejaran kepentingan di atas tingkah laku anggota. Contohnya, Tatcher yg berlaku tidak baik tetap tidka dikeluarkan dr UE. Ke depannya, UE berencana mengembangkan sayap menjadikan Eropa 3 lini, dengan merekrut Eropa Timur. Sementara itu, Inggris adalah negara yg maju pesat dibanding yg Perancis atau Jerman. Hal ini juga dikarenakan Inggris telah menjalin kerjasama ekonomi, dll dg AS, sehingga kedaulatan mereka terjamin sepenuhnya. Di sisi lain, Inggris paling takut dg marginalisasi dan tidak ingin itu terjadi. Oleh karena itu, UE meningkatkan level interdependensi untuk meratakan kapabilitas negara-negara anggotanya.

 

Modified intergovernmental merupakan label yg cocok bagi imej persuasif Uni Eropa. Adanya supremasi di atas supremasi nasional adalah suatu terobosan luar biasa yg menandakan babak baru dalam hubungan internasional. Negara-negara juga semakin dikuatkan oleh karena kolektifitas. UE sangat menyadari pentingnya kebijakan luar negeri ke luar bahwa hal itu adalh mendasar dan vital bagi tumbuh kembang UE dan jalinan hubungan UE ke luar. Sekarang tinggal mempertahankan apa yang ada dan melangkah dengan tepat di percaturan internasional untuk mempertahankan status quo sbg rezim komunitas internasional.

In my humble opionion, meskipun tidak beraliran/berideologi liberalis, UE telah berhasil mempraktikkan demokrasi dan sistem ekonomi liebral. Hal ini dapat dibuktikan dari meratanya kesejahteraan negara anggota, income, serta outputnya. Tidak seperti liberalis yg individualis dan mengijinkan pengejaran kepentingan pribadi sepuasnya, UE mengutamakan kepentingan individu dan kolektif dalam skala yg seimbang, sehingga menjadi win-win solution bagi negara anggotanya. Ke depannya, UE berusaha mengganti mata uang minyak menjadi euro dan menggeser dolar AS. Untuk mencapai itu mereka mengalami beberapa keuntungan, seperti keuntungan geografis, hubungan baik dengan negara-negara OPEC dan kurs mata uang UE yg memang sekarang termahal di dunia. Semoga saja, kawasan-kawasan lain dapat melakukan benchmark atas UE meskipun variabel-variabelnya banyak berbeda, setidaknya mencontoh bagaimana UE mengorganisir perbedaan-perbedaan negara anggota dan mengkosolidasi sedemikian rupa sehingga terjalin kerjasama regional yg baik.

 

Sumber

Taylor, Paul, Ed. By Ngaire Woods, Explaining IR Since 1945: The European Union in the 1990s: Reassessing the Basis of Integration, , 1997, New York: Oxford University Press.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar