Rabu, 04 Februari 2009

Kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari: Sebuah Kelicikan


Perang Enam Hari juga dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel yang menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dimana ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), dari tanggal 5–l0 Juni 1967. 

Perang ini sendiri disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang secara politis. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari ‘perang pembebasan rakyat’, dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath. Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai, dimana UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (hal ini disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (Pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel.

Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa serangan terlebih dulu Israel adalah hal yang lazim, karena sebelum perang tersebut ‘dikepung oleh negara Arab’. Terdapat Mesir yg dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis, yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Juga ada Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut. Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan ‘melakukan tindakan militer sebelum diserang’ bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

 

Diplomasi Pendahulu

Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.

Taksiran CIA yang baru dilaporkan, membantah perkiraan pesimistik Israel mengenai militer Arab. Johnson, pada kehadiran Sekretaris McNamara dan petugas senior lainnya, mendengar Abba Eban pada tanggal 26 Mei 1967.

Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Sekretaris Negara Amerika Serikat Dean Rusk, Sekretaris Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael Oren menerangkan tentang reaksinya:

Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel membesar-besarkan ancaman Mesir - dan menampilkan kelemahan mereka - untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres, tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab... aneh...' adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram , dimana ia juga menulis, 'kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu.

 

Abba Eban tampaknya sangat yakin bahwa Mesir akan lebih dulu menyerang Israel dan intelejen Israel mengaku telah dapat mengetahui strategi Mesir dan negara-negara sekutunya. Presiden Johnson yang mengetahui hal ini justru meragukan apakah sumber intelejen yg dimiliki AS tidak lebih baik darupada milik Israel. Johnson akhirnya mengonfirmasi hal ini kepada Alexey Kosygin, seorang rekan di Kremlin. Ia memperingatkan bahwa kalau memang ada rencana dari negara Timur Tengah untuk menyerang Israel, janganlah dilakukan kalau tidak ingin memulai krisis global.

Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata,

Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.

 

Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mencamkan pesan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan Kolonel Angkatan Udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan. Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.

Tapi ernyata pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya.

 

Pertempuran

Pergerakan Israel yang pertama dan yang paling penting adalah serangan pre-emptif terhadap Angkatan Udara Mesir. Angkatan Udara Mesir merupakan tentara udara termoderen dan terbesar di kalangan Angkatan udara Arab, memiliki kurang lebih 450 pesawat tempur, dan semuanya merupakan buatan Uni Soviet dan semuanya adalah baru.

Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Israel adalah 30 buah pesawat pengebom sederhana TU-16 Badger, yang dapat memberikan kerusakan besar kepada pemukiman penduduk dan markas militer Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 7:45 waktu Israel, sirine pertahanan rakyat sipil dibunyikan diseluruh Israel, Angkatan Udara Israel melancarkan Operasi Fokus (Moked). Semua 200 jet kecuali 12 yang boleh beroperasi telah meninggalkan kawasan udara Israel dalam satu serangan besar terhadap bandara militer Mesir. Infrastruktur pertahanan Mesir memang lemah, dan tidak ada lapangan udara militer yang dilengkapi dengan bunker untuk mempertahankan pesawat terbang angkatan udara Mesir dalam satu serangan. Pesawat udara Israel bergerak menuju Laut Tengah sebelum kembali ke Mesir. Pada saat itu, pihak Mesir mengganggu pertahanan mereka sendiri dengan menutup seluruh pertahanan udara secara efektif, karena mereka takut jika pemberontak Mesir akan menembak jatuh pesawat terbang yang membawa seluruh Letjen Sidqi Mahmoud, yang berada dalam perjalanan dari al Maza ke Bir Tamada di Sinai untuk bertemu dengan letnan kolonel yang bertugas di sana. Dalam peristiwa ini memang tidak banyak bedanya kerana pilot terbang di bawah liputan radar dan sesuai dibawah titik terendah dimana baterai misil S-75 Divina daratan-ke-udara akan menjatuhkan pesawat terbang tersebut. Israel telah menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara tidak berguna untuk pesawat-pesawat yang tidak musnah dan oleh sebab itu, menjadikannya sasaran yang tidak dapat diselamatkan karena gelombang serangan Israel. Serangan tersebut lebih sukses dibanding yang diharapkan. Serangan itu hampir memusnahkan seluruh Angkatan Udara Mesir di daratan tanpa banyak pengorbanan Israel. Lebih dari 300 pesawat Mesir dimusnahkan, dengan 100 pilot Mesir dibunuh Israel kehilangan 19 pesawat terbang karena kehilangan kendali, yaitu kegagalan mekanik, dan sebagainya. Serangan ini juga menjamin keunggulan udara Israel pada perang ini.

Sebelum peperangan ini terjadi, pilot Israel di lapangan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk memperlengkap serangan deras pesawat yang kembali setelah melakukan serangan tiba-tiba, menyebabkan 1 pesawat melakukan serangan tiba-tiba empat kali sehari (hal ini bertentangan dengan norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari). Hal ini membuat Angkatan Udara Israel menurunkan banyak gelombang serangan terhadap bandara militer Mesir pada saat perang yang pertama, dan mengalahkan Angkatan Udara Mesir.

Menyusul kemenangan gelombang-gelombang serangan permulaan terhadap bandara militer Mesir yang utama, serangan-serangan susulan dibuat pada akhir hari pertama terhadap bandara yang lebih kecil serta bandara Yordania, Suriah, dan juga Irak. Sepanjang perang, pesawat-pesawat Israel meneruskan tembakan yang bertubi-tubi terhadap bandara Mesir untuk mencegah pemulihan bandara tersebut. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

 

Kekecewaan Internasional dan Keunggulan Geostrategi Israel

Sekretaris Negara Amerika Serikat, Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan. Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk ‘marah seperti neraka’ dan Johnson kemudian menulis bahwa, "Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya".

Meskipun kekecewaan melanda dunia, tidak ada yg memutuskan untuk berbuat apa-apa selain pengeluaran resolusi PBB yang pada kenyataannya tidak dipatuhi Israel. Negara-negara Arab sangat terpukul atas kekalahannya dan tidak menyangka akan kemampuan perang Israel yang dahsyat. Berikut ini adalah beberapa straegi perang Israel yang dapat saya identifiaksi:

1.         Israel tahu betul bahwa negara-negara Arab lemah dalam hal koordinasi dan  infrastruktur. Israel juga tahu bahwa negara Arab tidak didukung oleh masyarakat internasional untuk ebrperang melawan Israel. Sehingga ia memanfaat momen ini untuk menyerang terlebih dulu yang menyalahi aturan dan norma yang ada.

2.         Kecanggihan persenjataan Israel, yang disinyalir disuplai asing, lebih moderen daripada milik Mesir. Selain itu Israel melakukan koordinasi serta perencanaan strategi dengan baik. Seperti saat Israel telah berlatih untuk melakukan serangan tiba-tiba sebanyak empat kali sehari. Hal ini bertentangan dengan norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari

3.         Kemampuan Israel membangun opini bahwa dirinya adalah pihak yang tertindas dan butuh perlindungan sukses membentuk opini publik saat itu dan seolah-olah serangan Israel terlebih dulu merupakan hal yang lumrah.

4.         Pelumpuhan Angkatan Udara Mesir menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara lumpuh seketika melenyapkan harapan bagi kemenangan negara Arab.

5.         Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan yang aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Inggris kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya:

-       Pesawat-pesawat dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat serangan terhadap tentra Mesir.

-       Pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir.

-       Satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.

Menilik strategi-strategi yang dilakukan Israel terlihat jelas bahwa Israel sangat ambisius melakukan perluasan wilayah yg merupakan kepentingan geopolitiknya. Dan Israel memenuhi tujuannya itu dengan cara apapun. Uniknya lagi, kekuatan asing banyak terlibat di sini seperti Inggris dan Amerika Serikat. Kepentingan kedua negara tak lain adalah sebagai usaha menjadikan Israel sebagai perpanjangan tangan mereka. Hal ini sangat kuat dibuktikan dengan keterlibatan banyak suplai senjata dan alat transportasi berat kepada Israel.

Pada akhirnya yang memiliki power adalah pemenang. Tak heran banyak pihak bersedia melakukan apapun, sekaligus dengan cara yang paling licik sekalipun untuk memenuhi keienginannya. Tapi bukan berarti kemenangan Israel diperoleh tanpa usaha diri sendiri. Justru karena Israel sangat ambisius dan self-determined, maka ia dapat menang sembari memanfaatkan kelemahan lawan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar