Rabu, 04 Februari 2009

Strategi dan Wajah Baru Cina Paska Pemerintahan Mao Zedong


Natasha K. Ardiani[1] (070610216)

Airlangga University

 

 

After the death of Mao Zedong, China’s legendary leaders, China’s been ruled by the cold hand Deng Xiaoping. He willed to the change the giant, fearing China inside and out. He definitely had learnt a lot from Mao’s and also Soviet’s mistakes, so he set a grand strategy of China for years to come and make such suitable economic and politics policies. Now we all can see the empowering and energetic China gaining back its power, but one thing we all should’ve been aware of, that China seems as strong as Soviet Union was, but it is in fact much more stronger from economic sector. Yes, China has learnt a lot. Now it rules the world market, it has enough energy supplies and it acts very careful in gaining friends and avoiding foes.

 

 

KEY WORDS:  China’s strategy, image, policy, Mao Zedong, Deng Xiaoping.

 

Tahun ini, reformasi ekonomi Cina berumur 30 tahun. Sejak gong reformasi ditabuh pada 1978, tak terhitung jumlah publikasi, baik dalam bentuk buku, makalah, berita di koran maupun televisi, yang memberikan pujian terhadap keputusan berani rejim Deng Xiaoping.

Data-data yang ada memang memberikan dukungannya terhadap segala puja-puji itu. Kalangan neoliberal kanan, seperti ekonom Jeffrey Sachs, mengatakan, performa ekonomi Cina menunjukkan betapa kapitalisme, atau dalam arti yang lebih politis ekonomi pasar, kembali membuktikan ketangguhannya di hadapan sistem yang lain (Coen Pontoh, 2008). Benar bahwa ekonomi pasar sering menderita krisis, tapi di waktu yang lain ia kembali menunjukkan kebangkitannya yang semakin kuat.

Sementara penganut neoliberal di sebelah kiri, seperti ekonom Joseph Stiglitz, memberikan aplaus kepada Cina, karena sikapnya yang hati-hati dalam menerapkan agenda luar negerinya. Bagi Stiglitz, Cina adalah contoh terbaik bagaimana sebuah rezim politik tidak boleh serta-merta tunduk pada rezim neoliberal. Jadi apakah yang sebenarnya ingin ditunjukkan Cina kepada dunia? Benarkah ambisi untuk jadi hegemon sudah pupus sepenuhnya di bawah rezim Deng dan bagaimanakah politik luar negeri Cina di bawah Deng?

 

Sekilas Cina: Dulu dan Masa Kini

Diasumsikan model pembangunan yang dijalankan Cina saat ini adalah model neoliberal, jadi proyek reformasi ekonomi yang dijalankan Deng adalah antitesa terhadap proyek yang dijalankan Mao sebelumnya. Kebijakan ekonomi kedua rezim ini sama sekali tidak memiliki kesinambungan, sebagaimana yang diyakini sebagian kalangan progresif, ketika memberi label ‘Sosialisme Pasar’ terhadap kebijakan yang ditempuh Deng.

Seperti dituturkan pakar ekonomi-politik Gregory Albo, inti strategi pembangunan Cina mirip dengan strategi yang dilaksanakan oleh Uni Soviet: alat-alat produksi dinasionalisasi sebagai milik negara, perencanaan komando terpusat, pembangunan industri-industri berat, perlindungan keamanan tanpa hak-hak politik buruh dan petani, penindasan terhadap level konsumsi buruh dan petani untuk memaksimalkan potensi kelebihan ekonomi, dan konversi kelebihan ekonomi ke dalam investasi tingkat tinggi di bidang manufaktur, dan industri (Gregory Albo). Albo melanjutkan, dengan jumlah populasi petani yang sangat besar, kolektivisasi pertanian dan sistem komune pedesaan menjadi komponen sentral pembangunan Cina.

Deng, yang secara publik tetap mengaku berkomitmen terhadap sosialisme, dengan segera meluncurkan kebijakan yang disebutnya ‘Sosialisme Pasar’. Pada kesempatan lain, ia menyebut kebijakannya sebagai ‘Sosialisme dengan karateristik Cina’. Melalui kebijakan ini, ia berpendapat Cina akan sanggup keluar dari kungkungan keterbelakangan dan kemelarataan yang menimpanya.
Apapun namanya, dalam Third Plenum Partai Komunis Cina, pada Desember 1979, dicapai keputusan untuk menggunakan kekuatan pasar dalam menggerakkan mesin ekonomi. Untuk itu, ada tiga kebijakan utama yang dicanangkannya, di masa-masa awal kepemim-pinannya (Zhang & Tang).

Pertama, pada awal 1979, di kota-kota tertentu pemerintah mempromosikan sosialisme pasar guna menciptakan pasar kerja. Pertimbangannya, tanpa kebebasan untuk mengalokasikan ‘sumberdaya kerja’, manajer tidak akan sanggup bertindak rasional dalam merestrukturisasi produksi guna merespon sinyal yang dipancarkan oleh pasar. Pasar kerja, juga memungkinkan manajemen untuk melakukan efisiensi dan produktivitas ekonomi.

Kebijakan ini tentu saja menyarankan pemerintah untuk melemahkan dan membungkam kekuatan serikat pekerja yang, merupakan warisan rezim Mao. Upaya penghancuran kekuatan serikat ini, berlanjut pada 1983, ketika pemerintah memutuskan agar perusahaan negara menggaji buruh baru di atas basis kontrak, tanpa jaminan kerja dan kesejahteraan yang selama ini dinikmati oleh buruh perusahaan negara. Hasilnya, pada akhir 1987, perusahaan negara Cina (China’s state-owned enterprise/SOEs), telah menggaji 7.51 juta buruh kontrak, sekitar 8 persen dari buruh industrial. Pada tahun yang sama, sekitar 6 juta buruh perusahaan negara berhadapan dengan ‘reformasi tenaga kerja, dimana hasilnya mereka menjadi buruh kontrak’.

Sektor swasta juga diharuskan untuk menjalankan reformasi ketenagakerjaan ini, sebagai bagian dari proses reformasi (Sugiantoro, 2007). Sebelumnya, perusahaan swasta dibatasi hanya boleh mempekerjakan kurang dari tujuh anggota keluarga. Namun, ketentuan ini kemudian dihapus pada 1987, dan hasilnya pekerja di sektor swasta meningkat dari 240 ribu pada akhir 1970an menjadi 1,1 juta pada 1981 dan 3,4 juta pada 1984.

Langkah kedua, yang ditempuh rejim Deng adalah menandatangani Open Door Policy pada 1979. Berbekal kebijakan ini, pemerintah kemudian menetapkan empat zona khusus ekonomi di sepanjang pesisir selatan provinsi Guangdong dan Fujian, bagi investor asing. Deng berargumen, kehadiran investor asing akan membantu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membawa masuk teknologi baru, sekaligus menjadi ‘sekolah’ tempat belajar tentang bagaimana mengoperasikan ekonomi pasar. Kebijakan ini kemudian disusul dengan serangkaian kebijakan lain pada 1983 untuk merangsang lebih banyak investasi asing langsung masuk, dengan cara menghapuskan pembatasan-pembatasan yang membatasi investor asing untuk melakukan usaha bersama dengan investor domestik, dan juga untuk memuluskan jalan bagi kepemilikan investor asing.

Langkah ketiga, dalam proses awal reformasi ekonomi ini adalah perintah agar dibubarkannya sistem produksi kolektif, pada September 1980. Dekolektivisasi ini diikuti oleh sejumlah langkah seperti, dibentuknya sistem produksi berbasis rumah tangga sebagai ganti sistem produksi berbasis kolektif (Martin Hans-Landsberg & Pal Burkett, 2005). Hasilnya, pada 1983 hampir 98 persen dari seluruh petani rumah tangga beroperasi menurut logika sistem baru ini, dimana lahan-lahan kolektif dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang yang dijual di pasar. Aturan baru ini kemudian disusul dengan regulasi pada 1983-1984, dimana para pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers) untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.

Hancurnya sistem komune ini, juga berimbas pada keseimbangan kekuasaan, dimana terjadi transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan baru. Konstitusi 1982, misalnya, semula memberikan kekuasaan administratif dan politik kepada komune untuk membentuk perusahaan kota dan desa. Dengan perubahan keseimbangan kekuasaan tadi, pemerintah baru kemudian mengambilalih ase-aset industrial komune, dan selanjutnya merestrukturisasinya menjadi perusahaan kota dan desa (township and village enterprises/TVEs).

Dihancurkannya sistem komune, juga berarti dicabutnya petani dari lahan pertaniannya. Dan seperti ditulis Jim Yardley, di harian The New York Times (12/9/2004), selama tahun 1980an itu, para petani yang tercerabut dari lahannya tersebut, kemudian bermigrasi, menempuh perjalanan lebih dari seribu mil menuju ke kota-kota seperti Beijing, Sanghai, Guangzhou, dsb. Para ahli memperkirakan, setiap tahunnya tidak kurang dari 7-10 juta migran baru menyerbu kota-kota di Cina.

Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung, yang menyebabkan Cina tidak hanya dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan tapi, juga sebagai negara dengan jumlah pekerja migran yang fantastis. Celakanya,  setelah 30 tahun reformasi bergerak, serbuan penduduk pedesaan ini baru dirasakan sebagai sebuah masalah besar. Sesuatu yang tak diperkirakan sebelumnya, ketika gong reformasi ditabuh pertama kali pada 1978.

 

Teori Tiga Dunia

Politik luar negeri Republik Rakyat Cina (RRC) selama beberapa dekade belakangan memiliki citra tersendiri. Pada hakikatnya politik luar negeri RRC tidak saja didasarkan pada kepentingan nasional dan pemikiran tradisional Cina, tetapi juga dilandasi oleh suatu teori pembagian dunia yang digunakan RRC yaitu ‘Teori Tiga Dunia’. Di dalam teori ini kawasan Asia Pasifik menempati prioritas tertinggi sebab negara-negara kunci yang terlibat langsung dengan kepentingan Cina secara geografis terletak di kawasan ini. Misalnya saja Rusia, Amerika Serikat (AS) digolongkan dalam dunia pertama. Kemudian Jepang dalam dunia kedua, dan negara negara sedang berkembang seperti negara-negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) digolongkan dalam dunia ketiga.

Uniknya secara teoritis Cina memasukkan dirinya ke dalam dunia ketiga. Bersama-sama dengan negara lainnya dari dunia ketiga, Cina ingin membentuk suatu front persatuan guna menghadapi kaum imperialis, hegemonis. Dengan kata lain, bagi Cina front persatuan dunia ketiga ini dimaksudkan untuk menghadapi baik dunia pertama maupun kedua.

Untuk mencapai ambisinya itu sejak awal 1970-an politik luar negeri Cina lebih mengedepankan kepentingan nasional terutama kepentingan keamanan dan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ideologi. Era baru ini ditandai oleh Komunike Shanghai tahun 1972 berupa normalisasi hubungan dengan negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan kemudian diikuti oleh normalisasi hubungan antara Cina dengan Jepang pada tahun yang sama. Lebih lanjut, strategi besar (grand strategy) kepentingan nasional Cina sejak saat itu yakni: menentang hegemonisme dan mendukung perdamaian dunia; berusaha mempersatukan kembali Taiwan ke dalam wilayah Cina (Taiwan dianggap sebagai provinsi yang membangkang); mempercepat konstruksi sosialis dengan empat program modernisasi di bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pertahanan.

Kini strategi besar kepentingan nasional Cina tersebut sudah memasuki hampir empat dekade. Hal ini berarti jati diri negara-bangsa (nation state) Cina pun telah banyak berubah. Dalam kancah politik internasional Cina sudah eksis sebagai salah satu negara besar (major power) yang sangat berpengaruh dalam menyuarakan kepentingan dunia ketiga di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Di bidang ekonomi dengan program modernisasi "lompatan jauh ke depan" yang dirintis oleh Deng Xiaoping sejak awal 1980-an, Cina telah menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi dunia yang diproyeksikan akan mengalahkan Amerika Serikat di tahun 2020.

Sedangkan di bidang pembangunan militer Cina masih terus berupaya untuk dapat sejajar dengan AS dan Rusia. Dewasa ini Cina sudah dapat membuktikan bahwa kekuatan militernya sudah meningkat lagi melalui keberhasilan uji coba senjata anti satelit baru-baru ini. Secara khusus, untuk penguasaan teknologi perang ruang angkasa Cina sudah dapat berbangga diri sejajar dengan AS dan Rusia.

Keberhasilan uji coba senjata anti satelit ini menyiratkan pula bahwa Cina sudah berada pada tahap akhir dari strategi besar kepentingan nasionalnya yang dirancang sejak tahun 1970-an. Sejarah membuktikan bahwa negara Cina sudah berhasil melalui kesemua tahapan strategi besarnya tersebut dengan gemilang.

 

Rezim Baru, Wajah Baru, Ambisi Baru

Dengan menilik sekilas tindak –tanduk serta kebijakan Cina yang bersumber dari Deng selama empat dekade terakhir, kepentingan ekonomi jelas merupakan poros utama politik luar negerinya. Perihal militer dan angkatan bersenjata, Cina mengembangkannya belakangan, setelah ia yakin bahwa pilar-pilar ekonominya sudah cukup kuat.  Namun sebenarnya Cina telah mengalihkan sumber ideologis dan orientasinya, yaitu dari komunisme militan menjadi nasionalisme pragmatik (Budiman Sudjatmiko, 2005). Untuk itu Cina telah menyusun konsep Comprehensive National Power (CNP) sebagai perumusan nasionalisme pragmatiknya dalam praktik. Konsep power mengacu kekuatan bangsa mencakup seluruh sumber daya aktual maupun potensial yang dimiliki Cina, baik kultural, ekonomi, militer, geografi, jumlah penduduk, dan sebagainya, yang setelah dikalkulasi, diharapkan bisa mengetahui kekuatan tawar Cina.

Berbeda dengan konsep power di negeri-negeri Barat, CNP coba dirumuskan secara kuantitatif, untuk mengkuantifikasi kekuatan Cina secara menyeluruh pada kurun waktu menengah (indicative) dan jangka panjang (vision). Dengan begitu, mereka bisa merumuskan standar untuk mengetahui seberapa besar kekuatan Cina kini dan seberapa besar upaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan CNP setelah membandingkan dengan CNP negara-negara lain, terutama kekuatan-kekuatan besar dunia. Berdasar informasi itulah beserta pengalaman sejarah yang telah dilalui, orientasi politik luar negeri Cina dirumuskan sebagai berikut.

1) Great power (da guo)

Konsep grand strategy Cina yang memvisualisasikan politik luar negeri dapat dilacak kembali pada Bapak Cina Moderen, Sun Yat-sen. Sun percaya bahwa Cina selalu ditakdirkan untuk jadi negara besar; mengingat ukuran, populasi, peradaban, sejarah dan potensi kepemimpinannya selama dua abad terakhir. Goal-nya adalah membuat Cina untuk jadi negara besar lagi.

2) Strategi kalkulatif

Pemahaman akan nasionalisme kontemporer China dalam kerangka CNP inilah yang membuat kita memahami mengapa Cina ‘tampak akan berjalan sendiri dan meninggalkan negara-negara yang kalah bersaing dalam arus globalisasi’ (Harian Kompas, 21/4/2004). Deng Xiaoping sedndiri berkata, "It doesn’t matter whether the cat’s black or white, as long it catches mice". Ia memaksudkan tidak peduli apapun model perokonomian Cina (entah sosialis atau kapitalis), yang terpenting birth right sebagai rakyat Cina yaitu hak ekonomi erpenuhi.

Bergabungnya Cina dengan WTO (World Trade Organisation), tidak juga bisa dikatakan bahwa Cina lebih memihak pada skema yang dibuat negara-negara maju dan mapan. Bergabungnya Cina dengan WTO dan kerja sama regional seperti APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), ARF (ASEAN Regional Forum), kemitraan strategisnya dengan India dan semacamnya merupakan wujud pendekatan instrumental yang kalkulatif. Dengan begitu Cina tidak akan menunjukan antusiasme berlebihan maupun sikap antipati terhadap skema organisasi-organisasi multilateral yang ada.

3) Kemampuan sendiri (self restraint)

Strategi kalkulatif ini mengacu pada pragmatisme yang berorientasi ke luar (outward-oriented pragmatism) untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, kemajuan teknologi, dan kemampuan militernya melalui revolusi di bidang kemiliteran (RMA atau Revolution in Military Affairs). Berdasar CNP inilah, tujuan strategis politik luar negeri Cina bisa diidentifikasi sebagai berikut: pertama, melindungi kemerdekaan, kedaulatan, dan keamanan Cina; kedua, melindungi dan menopang pembangunan ekonomi dan teknologi; ketiga, menciptakan situasi yang kondusif dan damai di Asia-Pasifik; keempat, memberi respons efektif pada tantangan dan ancaman dari luar; kelima, mencegah konflik internal dan eksternal; keenam, meningkatkan status dan prestise Cina di mata internasional. Tentunya, tujuan itu bisa menjadi acuan politik luar negeri negara-negara lain. Namun, yang menarik dari kasus Cina adalah setelah kurang lebih 27 tahun menjalankan proses modernisasi, kecepatan pertumbuhannya begitu mencengangkan (di atas sembilan persen per tahun) dan menjadi mercusuar tersendiri dalam wacana teori-teori ekonomi pembangunan dan kajian-kajian strategi serta teknologi pertahanan.

Penting juga untuk digarisbawahi, kekuatan ekonomi Cina juga diramalkan akan ditunjang oleh kekuatan pertahanan yang tangguh pada sekitar 2025, mengingat Cina sedang memodernisasi angkatan bersenjatanya dengan menggabungkan upaya alih teknologi militer, terutama dari Rusia, serta pengembangannya lebih lanjut berdasar kemampuan sendiri. Penggabungan kekuatan ekonomi dan militer yang tangguh di masa depan ini dilihat banyak pengamat tidak pernah bisa diraih Uni Soviet di masa-masa jayanya sekalipun (Harian Kompas, 21/4/2004).

Pemikiran nasionalisme pragmatis ini, seperti yang diramalkan oleh Budiman Sudjatmiko[2], akan tetap mewarnai kebijakan baik faksi konservatif maupun faksi reformis pimpinan Cina di abad ke-21. Kedua faksi itu didorong rasa kebanggaan nasional, keutuhan wilayah, dan kehendak memulihkan kebesaran Cina. Karena itu, bisa saja nasionalisme pragmatik menjadi militan dan agresif, jika para pemimpin Cina melihat komunitas internasional menghalanginya untuk bangkit menjadi pemain strategis dunia. Karena itu, sejauh Cina tidak dihalangi dalam upaya menjadi bagian tatanan dunia, dan sejauh tak ada intervensi militer pihak ketiga dalam persoalan Taiwan, maka nasionalisme Cina tak akan menjadi ultranasionalisme. Bahwa perdamaian menjadi prinsip politik luar negeri China, telah jelas dinyatakan Deng Xiaoping sendiri, "…politik luar negeri China memegang teguh dua prinsip. Pertama, menentang hegemonisme dan politik adu kekuatan, serta menjaga perdamaian dunia. Kedua, menegakkan tatanan politik dan ekonomi internasional yang baru"  (Sugiantoro, 2007).

Dalam menunjang grand strategy-nya, Cina memiliki strategi tersendiri dalam geo-ekonominya antara lain memutar kembali cadangan foreign exchange supaya menjadi investasi yang menguntungkan dalam lingkup batas negara, menggabungkan kerjasama serta memfasilitasi perkembangan korporasi multinasional Cina, dan mengembangkan pertanian Afrika dalam menyediakan agrikultur non pertanian untuk mensuplai industri dan pembeli Cina, dan juga menyediakan produk bagi Cina yang ada di pinggiran

Pemerintah Cina menentang bahwa “Hak-hak ekonomi” adalah prioritas utama dari perkambangan negara-negara dan melebihi hak-hak personal. Cina melihat HAM sebagai salah satu alat dari neo-imperialisme barat. Namun Cina hanya mengikuti tradisi Eropa, Jepang, dan AS yaitu menawarkan negara miskin kesepakatan perdagangan komprehensif dan eksploitatif yang dikombinasikan dengan pemberian dana (Harian Kompas, 2002).

Secara internal, para penasihat dan pemikir Cina (di bawah pengawasan Deng Xiao Ping) mengelaborasi strategi besar pembangunan nasional Cina ke dalam empat subsistem, yakni hard power (sumber daya alam, ekonomi, sains, teknologi dan pertahanan nasional), soft power (pendidikan, politik, politik luar negeri, dan budaya), coordinated power (organisasi kepemimpinan, kordinasi kepemimpinan nasional) dan environmental power (nasional, internasional dan domestik). 
Atas dasar itulah, Cina tak ingin mentransformasi dirinya menjadi sebuah kekuatan hegemoni. ”Cina tak mau status semacam itu karena seperti yang sudah dinasihati sesepuh Cina Deng Xiaoping, begitu Cina menjadi kekuatan hegemoni, seluruh warga dunia akan menentangnya,” kata Dubes RRC untuk Indonesia, Lu Shumin dalam wawancara di kantornya, 11 Juni 2002 (Harian Sinar Harapan, 2002). Atas dasar itu, RRC lebih menghendaki stabilitas politik, baik dalam negeri mau pun luar negeri, terutama dalam hubungan diplomatiknya dengan Indonesia.

 

Kesimpulan

Dapat disimpulkan oleh penulis bahwa grand strategy Cina secara garis besar adalah ingin memertahankan apa yang sekarag sudah mereka dapat dan ingin mengembangkan image Cina yang ‘bukan era Mao’. Saat Mao memerintah, diketahui Cina sangat ditakuti dan menjadi ancaman bagi kawasan maupun negara-negara di luar kawasan. Dan Deng menyadari, profile dan image seperti itu tidak akan membawa Cina kemana-mana. Itulah alasan utama ia mencnangkan strategi besar sedemikian rupa yang adaptable bagi Cina di masa-masa mendatang sekalipun.

Cina juga memiliki beberapa strategi regional yang koheren dengan strategi besarnya. Pertama, Cina menyadari kekuatan di luar region yang eksis di dalam region seperti Amerika Serikat, Rusia, dll. Cina mengijinkan hal ini terjadi karena ia tidak mau menjadi hegemon tunggal dalam kawasan, demi merubah citranya di era Mao. Kedua, Cina ingin jadi hegemonic power tapi tanpa hegemonic behaviour. Pada era Mao, Cina selalu memiliki masalah dengan negara tetangga, tapi saat itu ia masih ‘lack of capacity’. Dengan menyadari bahwa ia tidak akan bisa besar tanpa koeksistensi dengan negara lain, ia lalu mencoba menjalin hubungan dagang dengan negara tetangganya, Jepang dan Korea Selatan, dalam East Asian Community (EAC). Poinnya adalah, Cina tidak ingin terlihat menyolok sebagai hegemon tunggal, tapi ia merasa lebih efektif menggunakan jalur multilateral. Ketiga, Cina bukannya tidak menyadari kekuatan AS sebagai hegemon dunia, tapi Cina memutuskan selama AS tidak mengusik kepentingannya, ia tidak akan mengusik AS. Namun Cina beranggapan, hegemon tidak seharusnya melakukan intervensi begitu dalam terhadap ‘anak yang dipimpinnya’. Meski diklaim tidak memiliki masalah, hubungan kedua negara, Cina-AS, agak rawan pada isu kemerdekaan Taiwan[3], isu teknologi dan komunikasi, serta pengembangan nuklir. Cina dan AS seolah bersaing menunjukkan kepada dunia, produk siapa yang lebih baik, pasar siapa yang lebih menghasilkan serta peradaban mana yang lebih maju. Satu hal lagi yang unik dari ‘penggalangan koeksisensi’ Cina dengan negara tetangganya adalah bahwa tiap tahunnya Cina selalu menaikkan anggaran militernya (tertera secara trasnparan dalam Buku Putih Pertahanan Nasional Cina). Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan negara-negara di sekitarnya dan menyebabkan sebuah security dilemma.

Dengan wajah dan citra barunya, Cina berhasil memvisualisaikan sebuah strategi besar yang terlihat pada strategi regionalnya. Ini berarti Cina telah konsisten diihat secara praktis dan normatif. Konstelasi politik yang telah dibangun Cina dengan negara-negara lain di dunia sungguhlah apik, meskipun negara-negara lain kerap berhati-hati dalam berhubungan dengannya.

Mengenai self-perception, Cina sendiri sekarang menganggap dirinya sebagai the sleeping dragon, yang sewaktu-waktu siap menggeliat dan mengepakkan sayapnya. Ia sepertinya hanya butuh memastikan bahwa kali ini, ketika ia terbang, ia takkan kehabisan makanan.

 

 

REFERENCES

 

______, 2002, “RRC Tak Mau Menjadi Kekuatan Hegemoni”, Harian Sinar Harapan Edisi 17 Juni.

Albo, Gregory, “China and the World Market: Thirty Years of the "Reform" Policy”, (http://mrzine.monthlyreview.org/albo310308.html), diakses 29 Juni 2008.

Landsberg, Martin Hans & Burkett, Paul, 2005, “China and Socialism Market Reforms and Class Struggle,” NY: Monthly Review Press.

Pontoh, Coen Husain, 2008, 30 Tahun Reformasi Ekonomi Cina”, (www.indoprogress.blogspot.com) diakses 29 Juni 2008.

Sugiantoro, RB., 2007, “Ambisi Cina Menjadi Superpower”, Majalah Angkasa No. 6, Maret Tahun XVII.

www.kompascetak.com

Yardley, Jim, 2004, “In a Tidal Wave, China's Masses Pour From Farm to City,” The New York Times, 12 September.

Yunling, Zhang & Shiping, Tang,        , “China’s Regional Strategy”.



[1] Penulis adalah mahasiswi tingkat 2 jurusan Ilmu Hubungan Internasional (S1), Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia.

[2] Budiman Sudjatmiko adalah Direktur Eksekutif RES PUBLICA INSTITUTE (For Technology Policy, Strategic and Political-Economic Studies)

[3] Tahun 1949, partai Kuo Min Tang hijra dari Cina ke Taiwan karena kalah dalam pemilu. Mereka merasa sangat malu dan tercoreng nama baiknya. Orang-orang ini lalu mendeklarasikan sebuah negara dan berdiri sendiri secara independen dengan ‘bantuan’ Amerika Serikat. Cina tidak menyenangi hal ini dan masih menganggap Taiwan adalah bagian dari RRC. Sampai saat ini kasus kedaulatan Taiwan masih menjadi agenda utama RRC. Mengingat kedudukan RRC di PBB, ia berhak melakukan veto dan siapapun yang mendukung Taiwan, akan berhadapan lansgung dengan Cina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar