Rabu, 04 Februari 2009

Globalisasi Media, Keuntungan Mutual atau Alat Pembenaran?

Perdamaian adalah apa yang dibutuhkan oleh semua orang. Sampai sekarang masyarakat dunia masih menunggu damainya Israel dengan Palestina, damainya pemerintahan  Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), damainya Amerika Serikat dengan lawan-lawan politiknya di seluruh dunia dan semua perdamaian yang notabene masyarakat dunia tidak membutuhkan lebih banyak konflik. Tapi di luar semua itu, masyarakat dunia butuh apa yang dinamakan dengan kebenaran. Karena kebenaran adalah sesuatu yang hakiki, sesuatu yang pantas diketahui khalayak. Dan siapakah yang berfungsi sebagai penyuplai dan pemroses informasi yang ada? Jawabannya sudah barang tentu media. Sebagai fungsi penyedia dan pemroses informasi, apakah media sudah melakukan tugasnya dengan benar yaitu menyampaikan kepada publik informasi yang benar, alih-alih informasi yang komersial atau informasi yang ingin didengar oleh semua orang.

Kehidupan sehari-hari kita tak bisa lepas dari media. Saat di rumah kita menonton televisi, membaca surat kabar, atau browsing di internet dan saat sedang berada di luar rumah kita mendengarkan radio. Dari setiap berita atau informasi yang kita dengar, sudahlah kebiasaan manusia untuk mendiskusikan berita tersebut satu sama lain, baik dengan kolega di kantor, teman-teman di kampus atau siapa saja yang dapat kita sebut orang lain. Dari percakapan kecil kita itu, timbul yang namanya opini. Dari situ, muncullah fungsi lain dari media yaitu membentuk opini publik atau yang dapat saya katakan secara eksplisit bahwa orang-orang memiliki kecenderungan untuk mempercayai apa yang mereka baca, dengar atau lihat kemudian memrosesnya dalam pikiran mereka dan asumsi atau pendapat tentang suatu

Untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang bahasan ini, pertama-tama harus diketahui bahwa pusat cikal bakal dan perkembangan media adalah di Amerika Serikat. Dan merupakan karakteristik dari media yaitu kepemilikannya terpusat pada segelintir orang dan biasanya dalam bentuk korporasi-korporasi besar (CNN, FOX News, Washington’s Post, The Wall Street Journal, dll). Di Amerika Serikat, berita-berita dari sumber mainstream satu dan sumber mainstream yang lain relatif sama. Hal itu dikarenakan kepemilikan yang terpusat tadi, atau secara eksplisit dapat saya katakan, media dikuasai hanya oleh beberapa orang saja dan tiap-tiap orangnya memiliki kepentingan masing-masing.

Media mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia dalam skala yang cukup besar. Misalnya saja dari suatu berita yang membuat pernyataan bahwa Irak adalah negara teroris, maka seluruh dunia pun akan mengecam demikian. Dan kecenderungan pada majalah-majalah mode untuk menampilkan model-model berukuran 0 (size-0-model), maka gadis-gadis pembacanya pun akan berpendapat bahwa ukuran tubuh yang ideal adalah yang sedemikian rupa.  Sampai-sampai ribuan gadis rela menderita anoreksia dan eating-disorder lainnya hanya untuk mendapatkan tubuh ideal. Sama halnya dengan tren lifestyle atau gaya hidup. Orang-orang akan cenderung mengikuti cara hidup aktor-aktor layar lebar dan televisi dan mereka akan cenderung membeli produk dengan merk atau brand tertentu karena media menyebarluaskan bahwa produk-produk tersebutlah yang sedang tren.

Dari beberapa contoh-contoh di atas, yang ingin saya tekankan adalah betapa selama ini media telah mengalami alihfungsi atau yang secara ekstrim kita sebut disfungsi. Dari fungsi awalnya yang bertujuan untuk mencerdasakan khalayak dengan informasi-informasi aktual, bergeser menjadi alat ‘pemberitahuan’ mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah. Sumber-sumber media bahkan seringkali lebih dipercaya oleh masyarakat daripada sumber berita yang lain.

Bukannya seharusnya media memberikan dunia ini pencerahan untuk kehidupan yang lebih baik? Bukannya malah mengeset standar hidup dan berusaha menyamaratakan standar di seluruh dunia. Kalau kita tinjau tontonan anak-anak dan remaja masa kini, dapat kita lihat dampak langsungnya terhadap mereka. Anak-anak masa kini dididik untuk menjadi konsumtif yang notabene mengikuti tren. Sehingga bagi mereka timbul perasaan janggal kalau tidak berdandan atau memiliki barang-barang seperti anak-anak lain. Anak muda dengan tren dapat kita analogikan seperti Indonesia dengan demokrasi. Indonesia diklaim sebagai negara yang kurang demokrasi sehingga harus merombak infrastruktur pemerintahan yang ada. Sampai-sampai legislatif Indonesia ikut menerapkan sistem bikameral (seperti legislatif di Amerika Serikat) yang terdiri dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), yang sampai saat ini belum dapat kita lihat signifikansi peran DPD bagi kesejahteraan daerah-daerah di Indonesia. Belum lagi tumpang tindih fungsi yang dilakukan legislatif di Indonesia. Dengan kondisi legislatif yang baru, yang memiliki fungsi budgeting (satu-satunya di seluruh dunia), sangat masuk akal jika legislatif mempertanggung jawabkan fungsi tersebut terhadap pemerintah pusat. Tapi yang terjadi di sini adalah, fungsi budgeting oleh legislatif dipertanggungjawabkan oleh eksekutif kepada pusat. Dan masih banyak lagi ketimpangan ‘demokrasi’ terjadi di negara ini. Yang saya pertanyakan adalah di mana letak fungsi media yang seharusnya ikut mengawasi dan mengkritisi jalannya pemerintahan? Apakah semua oknum media sudah menjadi antek pemerintahan yang ikut menjadi alat pembenaran hal-hal apa saja yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa?

Pertanyaan saya di atas bukanlah retorika semata. Pertanyaan-pertanyaan di atas butuh jawaban, dan jawaban itu dibutuhkan segera. Mau dikemanakan arah pemerintahan, etika dan moral generasi mendatang jika ketimpangan-ketimpangan kerap terjadi. Seperti yang sudah saya singgung sejak awal, bahwa yang kita butuhkan adalah kebenaran. Masyarakat butuh media yang berdedikasi. Sanggup menyampaikan informasi secara tepat guna kepada masyarakat. Tentu saja tidak melarang media untuk tetap komersil, tapi juga diharapkan media yang melaporkan sesuatu yang ‘benar-benar’ terjadi dan tidak menutup-nutupi kebenaran sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar