Rabu, 04 Februari 2009

Arti Penting Caspian Summit bagi Rusia dan Hubungan Bilateralnya dengan Iran


Rusia sejak 12 Desember resmi meninggalkan pakta Kekuatan Konvensional Eropa (CFE). Keputusan Presiden Vladimir Putin ini merupakan bagian lain dari level waspada yang kini diemban dunia saat ini. Suatu keputusan yang membuat dunia kembali lagi ke iklim Perang Dingin. Kini Rusia bebas mengerahkan pasukannya di belahan Eropa tanpa perlu memberi tahu NATO. Sebelumnya, dunia lebih tenang karena saling terbuka di antara NATO dan Rusia. Namun, sikap kurang memahami yang diambil NATO, khususnya Amerika Serikat (AS), menjadikan keamanan dunia masuk ke level waspada.

Sejumlah kalangan menilai kepemimpinan mantan agen KGB kelahiran 7 Oktober 1952 ini otoriter, tak ubahnya seperti saat Rusia masih bernama Uni Soviet di bawah kekuasaan sosialis. Putin bukan teladan yang baik untuk mewujudkan kebebasan berbicara. Tokoh-tokoh oposisi yang menjadi lawan politiknya dilumpuhkan. Namun di balik itu semua, Rusia mengalami kemajuan yang signifikan. Perekonomian negeri Beruang Merah ini membaik, dan secara militer, Rusia kembali dipandang dunia internasional dengan obsesi Putin membentuk kutub baru berhadapan dengan Amerika Serikat. Salah satu kekuatan politik Putin terletak pada bagaimana ia memprioritaskan kebijakan domestik dan luar negerinya. Putin telah berhasil menghapus sisa-sisa kekuatan oligarki yang ada dan merevisi jajaran kabinetnya pada awal pemerintahannya. Ia menyingkirkan orang-orang yang potensi merugikan negara atau tidak sejalan dengan visi politiknya, salah satunya Yevgny Adamov, mantan Menteri Energi Atom yang telah berkali-kali mewujudkan kerjasama nuklir degan Iran. Ia juga memarginalkan kekuatan-kekuatan reformasi, seperti Majelis baru yang terpilih tahun 2000, karena takut akan adanya kebijakan gegabah yang diambil. Mengiringi langkahnya, Muslim Duma Rusia mendukung Putin dan kebijakannya, tak ketinggalan dukungan dari Partai Edinsvo.

Dari banyak keputusan Putin, yang termasuk bijak adalah terjalinnya hubungan harmonis di kawasan regional negara-negara Laut Kaspia. Negara-negara ini kemudian mengadakan pertemuan tingkat tinggi sekali setahun guna membicarakan isu-isu tertentu yang diagendakan, dan tak jarang isu-isu yang diusung menarik perhatian khalayak interbasional. Caspian Summit 16 Oktober lalu di Teheran contohnya, telah menarik perhatian media dan banyak negara di tengah-tengah krisis nuklir Iran dan meningkatnya ketegangan hubungan AS-Iran berkaitan dengan perkembangan di Irak dan Timur Tengah. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tersebut dipandang sebagai suatu tonggak bersejarah dalam kerjasama regional yang berkaitan dengan berbagai isu negara-negara litoral Laut Kaspia.

KTT yang dihadiri Presiden Azerbaizan, Iran, Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan ini merupakan pertemuan kedua setelah Ashgabat, Turkmenistan, tahun 2002 dan sekaligus kunjungan pemimpin Kremlin pertama ke Iran sejak Josef Stalin hadir dalam Teheran Conference bersama Winston Churchill dan Franklin Roosevelt tahun 1943. Fokus dalam KTT adalah energi, kerja sama regional, status legal Laut Kaspia, dan proyek ekonomi bilateral.

Bagi Presiden Vladimir Putin, KTT ini juga menjadi upaya Rusia mengembangkan minyak dan gas alam yang ada di Iran, termasuk kebijakan pemasaran sphere of export Rusia dengan memasukkan Iran dalam kartel ekspor gas di bawah kontrol Rusia. Hal ini juga jelas terlihat dalam upaya Rusia pada Gas Exporting Countries Forum awal tahun 2007 ini. Dengan mengeksploitasi ketegangan AS-Iran dan ancaman sanksi AS terhadap investasi sektor energi Iran, Moskwa tampaknya memiliki kepentingan membawa Iran dalam pasar gas internasionalnya.

Joint statement Putin-Ahmadinejad telah menantang kebijakan Washington terhadap isu Iran dan kebijakan sanksi AS bagi negara tersebut. Rusia akan memilih posisi timing  yang tepatsehubungan dengan keterlibatannya dalam pengembangan gas alam Iran. Atau memutuskan menundanya dengan imbalan konsesi Barat untuk isu yang lain, yang tentunya tidak berkaitan dengan isu energi. Putin tampaknya menempatkan isu Iran sebagai quid pro quo keamanan Eropa dan isu pengawasan senjata dalam pertemuannya dengan Condoleezza Rice dan Robert Gates beberapa waktu sebelumnya di Moskwa. Namun, bukan tidak mungkin Putin tetap memberikan otorisasi bagi Gazprom beroperasi di Iran dan mengabaikan sanksi AS (di mana perusahaan Eropa juga tidak dapat beroperasi karena sanksi tersebut).

Sementara itu, Rusia menolak konstruksi trans-Caspian pipelines yang didukung AS yang akan menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan, via Azerbaijan, langsung ke Eropa. Laut Kaspia dan sumber daya minyak dan gas alamnya merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia. Tahun 1921, Iran dan Uni Soviet menandatangani perjanjian yang membagi dua Laut Kaspia. Kawasan ini memiliki cadangan minyak 49 billion barrel, atau sama dengan produksi setengah anggota OPEC seperti Kuwait dan cadangan gas alam sebesar 230 trillion cubic feet.

Iran memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dan cadangan gas terbesar kedua setelah Rusia. Posisi geostrategis Iran dengan jaringan pipelines-nya dan sebagai produsen OPEC terbesar kedua juga menjadikannya aktor kunci dalam energi dunia. Devisa ekspor minyak Iran mencapai sedikitnya 45 miliar dollar AS tahun 2007 atau 50 persen dari anggaran belanja tahunannya. Iran juga menyuplai 5 persen minyak dunia.

Bagi Rusia, KTT tersebut merupakan kesuksesan tersendiri bersama Iran karena tampaknya peluang Rusia untuk meningkatkan perekonomian dan menjadi negara independen dengan pendapatan per kapita besar dapat terlaksana secepatnya. Bagi Iran sendiri, KTT tersebut merupakan stepping stone untuk keanggotaan penuhnya dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang dianggap sebagai security counterweight terhadap NATO dan hegemoni AS.

Rusai dan Iran memiliki kepentingan yang sama dalam menghadapi kebijakan intervensionis AS dan berupaya mengembangkan hubungan strategis baru di kawasan Eurasia. Baik Iran maupun Rusia saat ini merupakan obyek dari American coercion, tujuan dan kepentingan keamanan nasional kedua negara mengalami tantangan pasca 9/11. Rusia dan Iran juga memiliki hubungan khusus dengan mantan negara-negara Uni Soviet sejak tahun 1921 dan 1940 mengenai pengaturan Laut Kaspia.

Banyak hal yang sudah dicapai dalam KTT. Antara lain evolusi strategis kebijakan luar negeri Rusia yang tidak lagi tergantung pada prioritas kepentingan taktis di atas kepentingan strategisnya. Dengan mencapai level ini, Moskow sekarang memasuki hubungan strategis baru dengan Iran guna memenuhi kepentingan geostrategis dan keamanannya di kawasan Eurasia. Menurut Presiden Vladimir Putin dalam pertemuannya dengan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, Iran adalah kekuatan global dan regional yang penting, yang dianggap pemimpin dunia ketiga menghadapi kebijakan AS yang dominan di panggung politik dunia. Iran berupaya melalui KTT Kaspia ini agar kebijakan luar negeri Ahmadinejad membuka ruang gerak baru bagi diplomasi Iran, tidak hanya terhadap Kaspia, Kaukasus, dan Central Asia, tetapi juga citra Iran di Timur Tengah.

Meskipun masih banyak isu yang belum dapat diselesaikan dalam KTT yang baru lalu dalam mendorong kerja sama regional di antara lima Caspian littoral states, namun telah jauh berbeda dibandingkan KTT pertama tahun 2002.  Rusia bersama dengan empat negara Laut Kaspia lainnya mendukung hak Iran untuk tenaga nuklir. Pernyataan dari lima negara itu mendukung hak satu anggota Perjanjian Non Proliferasi Nuklir untuk meriset, memproduksi dan menggunakan tenaga nuklir untuk tujuan damai, tanpa diskriminasi, dalam kerangka perjanjian ini dan mekanisme badan pengawas nuklir PBB. Presiden Rusia Vladimir Putin dalam satu jumpa wartawan  setelah KTT itu bahwa negara-negara itu mengutarakan gagasan tersebut bahwa kegiatan-kegiatan nuklir untuk tujuan damai harus diizinkan. "Rusia adalah satu-satunya negara yang mendukung Iran membangun pusat tenaga nuklir untuk tujuan damai," tambah Putin mengacu fasilitas di Bushehr. Putin sebenarnya menyadari bahwa pernyataannya akan memprovokasi kemarahan Washington, tapi bagaimanapun juga Rusia merasa harus mengukuhkan posisinya. Ini menunjukkan sinyal akhir dari diplomatic consensus Rusia-AS vis-à-vis Iran.

Teheran Summit dan hasilnya menjadi setback yang serius bagi diplomasi Washington terhadap isu Iran, namun juga menunjukkan dampak diplomasi Rusia yang menyebabkan Moskow dan Washington akan mencapai dead end. Namun, di sisi lain, kebijakan baru Putin terhadap Iran juga berisiko, terutama jika hal itu tidak menghasilkan kerja sama Iran yang lebih dalam hal isu nuklirnya.

Apa yang disebut lonely superpower oleh Samuel Huntington tampaknya dapat dialami AS yang merasa kehilangan coalition of the willing-nya menghadapi Iran, baik di dalam maupun luar PBB. Dan dalam prosesnya, tentu saja semua ini tidak bisa dilaksanakan tanpa tekad dan kerja keras Putin. Pilihan yang ada adalah tetap berkeras tidak menyesuaikan kebijakan yang diperlukan terhadap Iran atau menghadapi diplomatic defeat di global arena. Soft-power diplomacy yang dilakukan Iran dengan bantuan Rusia telah memberikan arti tersendiri bagi kesuksesan KTT dan frustrasi AS terhadap upaya coercive diplomacy-nya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar