Rabu, 04 Februari 2009

Summary ‘In-Country: The United States in Vietnam and Iraq’

Artikel Jenkinson menyatakan bahwa pasca invasi Amerika Serikat ke  Irak, beberapa menteri kabinet pemerintahan Inggris memberikan wawancara kepada harian Guardian bahwa sejarah perang Vietnam sudah disalahmengerti, dimitoskan dan difiksikan. Jadi beberapa poin yang seharusnya menjadi pembelajaran justru secara keseluruhan menjadi ambigu. Bahkan perdana menteri Tony Blair sendiri setiap harinya, pada masa itu, mempertanyakan situasi di Irak saat itu lebih mirip Ceaucescu di Romania atau Vietcong. Yang dijawab oleh anggota intelejen bahwa situasi kala itu lebih mirip situasi Romania.

Vietnam merupakan representasi dari situasi kegagalan militer yang tidak diharapkan. Dari sisi politik, sejauh yang dapat dipelajari, perang Vietnam adalah sulit dijelaskan dan digambarkan. Yang lebih jelas lagi, pelajaran yang dapat diambil dari sisi militer lebih sederhana, tapi Amerika Serikat lebih memilih untuk tidak membahasnya. Yang paling mengejutkan, adalah kenyataan bahwa perdana menteri dan beberapa penasihatnya mempunyai pandangan menyeluruh mengenai formasi konflik–yang dalam hal ini pemberontakkan populer terhadap kediktatoran komunis, satuan tentara tidak resmi yang anti-komunis di faux-state dan invasi yang tanpa basa-basi–semata-mata adalah hasil dari luapan kemarahan.

Artikel ini terdiri dari tiga fase perang yaitu latar belakang, konflik dan pendudukan, yang khususnya berfokus pada persamaan dan perbedaan politik dan militer. Pada fase pertama Jenkinson menjelaskan perbedaan antara periode Vietnam dan Irak terletak pada dinamika politik domestik di Amerika Serikat yang membentuk latar belakang konflik. Kemenangan Kennedy atas Nixon pada tahun 1960, yang kemudian digeser oleh isu ‘gap misil’. Isu itu pun ikut memberikan peran dalam naiknya turnout di Amerika Serikat yang mencapai 63,06%. Beberapa waktu kemudian, perhatian masyarakat dialihkan kepada isu Kuba dan Teluk Babi. Kennedy, yang dalam pemilihan umum mengandalkan isu anti-komunisme, sangat berharap pihak komunis segera melancarkan aksinya dan dengan tujuan lain yaitu untuk membalas lawan politiknya, Barry Goldwater. Secara tidak terduga, Kennedy justru menaikkan jumlah pasukan ke Vietnam Utara dengan dalih kala itu adalah saat yang tepat untuk mengkredibilitaskan kekuatan Amerika Serikat, yang menurut Jenkinson, tindakan ini lebih dilakukan karena Goldwater.

 ‘Keharusan politik’ untuk melindungi rakyat Amerika dan menegakkan demokrasi berlanjut di pundak Johnson. Hal ini kentara saat Johnson memutuskan untuk melanjutkan perang karena dia tidak melihat ada alternatif lain. Meskipun begitu, tidak ada warisan alasan bagi Bush untuk melakukan hal serupa. Bush tidak dipilih karena ia anti-Irak atau karena kegagalan invasi terhadap Irak. Justru tindakan bin Laden lah yang menjadi pemicu kesenangan baginya, karena dengan adanya serangan 9/11, Bush dapat berdalih dirinya harus ‘bertindak’ untuk melindungi rakyat Amerika. Padahal sebelumnya, Irak bahkan tidak ada dalam sasaran target operasi Amerika. Oleh karena itu Bush menciptakan proganda berikut:

“Irak terus menerus menunjukkan ketidakramahannya terhadap Amerika Serikat dan mensupport teror. Rezim Irak telah merencanakan pengembangan anthrax, gas beracun dan senjata nuklir lebih dari satu dekade ini. Ini adalah rezim yang menggunakan gas beracun untuk membunuh ribuan warganya sendiri–meninggalkan tubuh-tubuh para ibu berserakan di atas anak-aaknya yang mati. Rezim yang menyetujui inspeksi internasional–kemudian menendang inspektornya. Ini adalah rezim yang memiliki sesuatu yang disembunyikan dari peradaban dunia.”

Jenkinson menuliskan bahwa propaganda di atas, ditambahkan dengan ide bahwa Irak mensponsori dari Al Qaeda, disebarkan kepada siapa saja yang berpengetahuan sempit tentang latar belakang kejadian di Irak. Bahkan, propaganda tersebut merembet sampai ke permasalahan Korea Utara dan Iran, mempermasalahkan betapa tidak beradabnya negara-negara tersebut dan bahwa negara-negara tersebut harus didemokratisasi. Bush mengatakan bahwa ia harus bertindak melawan Irak atau ia akan dituduh gagal melindungi rakyat Amerika dalam kampanye presidennya yang kedua. Uniknya, pernyataan perang terhadap Vietnam dan Irak dimulai persis setelah pengambilan sumpah kepresidenan, tapi hanya pada kasus Vietnam saja hal itu berlanjut menjadi agenda politik domestik.

Salah satu kesalahan terbesar yang dibuat Amerika saat membandingkan Irak dengan Vietnam adalah melupakan bahwa tentara Amerika bergerak ke Vietnam secara tidak dipersiapkan. Tidak ada invasi, tidak ada perang besar, hampir tidak ada pergelutan sama sekali, alih-alih rakyat Vietnam menyaksikan kedatangan mereka dan segera mempertimbangkan taktik. Amerika, terlambat menyadari bahwa strategi kuno mereka saat berperang melawan Korea dan saat Perang Dunia II sudah usang. Strategi-strategi tersebut tidak cocok diterapkan di Vietnam. Yang ada justru pemborosan dana dan nyawa. Hal ini semestinya menjadi pembelajaran berharga bagi Amerika Serikat, bahwa seharusnya dapat melihat dari kesalahan Vietnam, yang sedikit banyak menyebabkan hal-hal di masa kini terjadi. Menurut Jenkinson, Amerika Serikat mestinya melakukan analsa dan pembelajaran terlebih dahulu sebelum melakukan invasi, atau bahkan pendudukan.

Ketidakpuasan akan pelayanan angkatan bersenjata Amerika, tidak terhindar lagi telah membawa Amerika untuk mengenal Doktrin Powell tentang kekuatan yang maha-besar. Doktrin tersebut berisi peningkatan spesialisasi, penggunaan senjata yang tepat dan menghindarkan bayangan perang dari kematian. Hal ini pun segera diterapkan dan sekali lagi mengalami kegagalan. Terbukti bahwa Amerika Serikat mengalami beberapa kalah perang di Irak, karena terlalu mengandalkan aliansi lokal. “Selama pendudukan di Irak berjalan, kontak langsung dengan musuh tidak lagi memberi perlindungan pada unit-unit elit,” tulis Jenkinson.

Jenkinson mengutip tulisan Ivan Arreguin-Toft yang berjudul How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict, tentang fenomena yang bisa dibilang menggelikan, bagaimana tentara konvensional mengalahkan tentara non-konvensional (dilengkapi dengan persenjataan canggih) tanpa mengarah pada barbarisme? Jawabannya adalah, itu bergantung pada tentara non-konvensional itu sendiri dan jumlah populasi yang menyokong mereka. Sekarang ini, Amerika Serikat sedang berisiko menghadapi ‘Vietnam kedua’, dan itu semua murni ulah mereka sendiri: telah bermars dengan visi liberal Paris, mereka dapat dikategorikan lambat dalam memahami aktualitas pendudukan (occupation).

Persamaan sebenarnya antara kasus Vietnam dan Irak, yang sekarang sedang dan terus berkembang, adalah ketidakpuasaan pasukan perang. Hal ini diindikasikan oleh banyak hal. Banyak hal yang mereka keluhkan, dari pemberitaan tentang mereka di media massa, banyaknya tentara yang mati sia-sia, disproporsi jumlah pasukan sampai tidak ada laporan bahwa mereka telah ‘didisiplinkan’. Kata-kata ‘Lindungi dirimu dan pulang dengan selamat!‘ (Cover your ass and get home alive!) menjadi sangat terkenal di kalangan pasukan, persis seperti saat-saat Vietnam.

Saat administrasi dipimpin oleh seorang Republikan, pasukan kulit hitam dan kulit putih dilatih dan diberangkatkan perang, di mana hampir semua pasukan orang kulit hitam ditempatkan pada unit perang. Bagaimanapun juga, keuntungan perang dapat diambil oleh orang-orang yang berasal dari eselon ekonomi menengah ke bawah dan dapat terlihat juga dari bertambah banyaknya orang kulit hitam yang mendaftar menjadi pasukan bersenjata. Sebagai orang biasa, khawatir dan takut, terbalut dalam seragam perang; tidak ada seorang pun yang terbiasa pada kematian. Kalau tingkat kematian terus bertambah, maka akan segera ada laporan pertama dari ‘penolakan perang’ (combat refusal).

Pada waktu yang sama, ada pembicaraan mengenai meninggalnya Saddam Husein akan mengakhiri konflik dan bahwa penyebab konflik berasal dari ‘luar Iraq’. Jenkinson menyatakan, orang Amerika mempunyai ide bagaimana mengakhiri masalah atau mengetahui siapa yang sesungguhnya di belakang semuanya dan mereka mencoba menyusut sampai ke akar-akarnya. Mereka sangat pintar berdalih. Presiden Johnson selalu berharap, bahwa serangan berikutnya akan menyelesaikan masalah dan mendamaikan situasi. Namun kenyataannya tidak pernah demikian. Seperti yang terjadi di Irak, keadaan semakin memburuk. Tujuan perang semakin tidak jelas dan berkembang di sana-sini: menurunkan Saddam (sudah dilakukan), menemukan senjata pemusnah masal (dapat sesuatu, kehilangan sesuatu), membuat Amerika aman, menghilangkan permasalahan Israel-Palestina; dan beberapa hal yang diakui Amerika kepada publik seperti motivasi menguasai minyak Timur Tengah, pembuatan pangkalan militer dan menghimpun dana rekonstruksi bagi aliansi Bush, yang walaupun benar adanya, semuanya tidak dapat dibuktikan. Hal kedua yang memperburuk keadaan Irak adalah pemaksaan kedaulatan oleh Amerika Serikat. Keadaan di Irak berbeda dengan di Vietnam, yang pemerintahnnya masih memungkinkan untuk melakukan negosiasi. Keadaan pemerintahan Irak jelas tidak pada kondisi yang bisa dipaksa berdaulat, meninggalkan Amerika bertanggung jawab atas wilayahnya, karena sudah tidak ada autoritas lain.

Kenyataan sekarang adalah bahwa Amerika sedang terpojok, termakan idealisme dan omongan sendiri. Sekarang masih belum terlambat untuk menstabilkan situasi, tapi tanda-tandanya memang tidak menjanjikan. Sekarang semuanya berharap bahwa keadaan bisa berbalik seperti sebelum perang di Agincourt, saat Raja Inggris saat itu menanggapi ancaman Prancis dengan berkata:

Laki-laki itu semasa hidupnya berjualan kulit singa

Saat singa itu hidup, ia terbunuh saat memburu si laki-laki.

 

 

Sumber: Jenkinson, Simon, Februari 2004, Global Change, Peace and Security Volume 16 number 1, Carfax Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar