Rabu, 04 Februari 2009

Regionalisme Baru di Afrika


Natasha Karina Ardiani

NIM: 070610216

 

Afrika merupakan suatu benua, region dan entitas yang perlu pembelajaran tersendiri karena kawasan ini memiliki karakteristik distingtif yang tidak dimiliki oleh kawasan lain manapun. Globalisasi telah menjadi suatu pemicu, kalau boleh dibilang turning point akan kebobrokan laten di Afrika. Seperti yang juga telah dikatakan oleh Ankie Hoogevelt dalam bukunya ‘Globalisation and the Postcolonial Worlds: The New Political Economy of Development’ (Hoogevelt, 1997 dalam Shaw, 2000) bahwa Afrika adalah benua yang paling marginal dan terbelakang, serta paling sedikit terpengaruh oleh instabilitas kontemporer dan permalasalahan finansial dunia.
Kondisi Afrika paskaKolonialisme tidak bisa dibilang stabil. Afrika secara keseluruhan bersifat heterogen. Bahkan sebelum Afrika menjadi beberapa kavling kekuasaan kolonial, Afrika sudah berkonflik antar kerajaan yang sudah ada sebelumnya. Kalau dulu Afrika berbatas tribal, setelah Eropa datang Afrika berbatas teritori. Ada yang emndapat teritori baru, ada juga yang kehilangan. Lalu setelah negara-negara Eropa masuk, mereka menyadari betapa berharganya Afrika mengingta kandungan bermacam-macam bahan tambangnya dan lalu membentuk bangsa/etnik baru, ‘membangun’ Afrika untuk kepentingan mereka sendiri.
Paska Perang Dunia II, muncul nasionalisme Afrika yang dipicu oleh berbagai kejadian di belahan dunia lain, tapi terutama dimotivasi karena musuh dari luar seperti orang Kongo yang bersatu dan melawan perancis. Menariknya, para penjajah hengkang dari tanah Afrika, keadaan di sana justru semakin terpuruk. Jadi memang perekat antar bangsa sama sekali belum kuat. Hal ini menimbulkan etnosentrisme dengan semangat primordialisme. Ditambah rakyat Afrika yang sudah terbiasa dengan sistem administrasi Eropa, seketika ditinggalkan membuat instabiliats sistem yang dijalankan oleh orang Afrika dengan tidak efisien. Selama ini Afrika hanyalah objek modernisasi Eropa, sepeneinggal Eropa, Afrika tetaplah terbelakang.
Kondisi failed/collapsed state[1] ditandai dengan adanya security dilemma yaitu munculnya kelompok-kelompok sosial yang biasanya ingin merebut kekuasaan lalu membuat prajurit sendiri (privatisasi prajurit) sehingga muncul persaingan antar kelompok sosial dengan aparat militer negara. Indikator kedua yaitu adanya internal security concern terkait dengan dekolonisasi. Saat Eropa memutuskan untuk hengkang, tidak seluruh orang Eropa ikut serta kembali ke Eropa. Hal ini membuat akses persenjataan di Afrika sangat lancar dengan perantara orang-orang Eropa yang tinggal di Afrika. Struktur Afrika menjadi kacau balau ketika ketentaraan Eropa meninggalkan Afrika. Lalu otoritarianisme memperburuk kondisi. Di Afrika, tidak ada negara yang merdeka secara dmeokratis; hampir semuanya otoritarianisme. Perkecualian untuk Mesir, di mana demokrasi terkontrol oleh satu figur, yaitu Gammal Abdul Nasser. Indikator keempat adalah kegagalan state led development[2]. Di masa awal paskaKolonialisme, Afrika sangat anti pasar dan anti liberal. Hal ini didasari pada anggapan bahwa Barat adalah musuh, sehingga pemerintah Afrika merencanakan pembangunan secara otodidak dengan tidak didasari pembelajaran yang matang. Hal ini gagal karena tidak ada konrol terhadap pemilik otoritas. Para pemimpin yang tidak terkontrol justru menimbulkan korupsi, disparitas ekonomi, kebnagkrutan, pengangguran. Ekonomi Afrika yang sejak lama dibangun berdasarkan ekonomi perang membuat tabiat orang-orang Afrika yang hanya trampil untuk berperang dan mendapatkan uang.
Regionalisme baru ditandai dengan munculnya tiga aktor heterogen yang bercokol di Afrika paskaKolonialisme sangat mendeterminasi keadaan Afrika beberapa dekade belakangan. Aktor itu adalah negara (termasuk institusi regional dan intrastate), struktur ekonomi (MNC dan sektor informal) dan masyarakat sipil (dari NGO sampai gerakan proletariat). Keterlibatan ketiga aktor ini memperumit keadaan di Afrika dan membuat jalinan mata rantai yang tidak ada putusnya. Sebaliknya justru timbul mafia dan klik-klik baru menguasai Afrika. Perjuangan dan perlawanan ditumpangi ebrbagai kepentingan, dari dalam dan luar Afrika, yang dilakukan oleh berbagai aktor untuk mendapat keuntungan pribadi dan kolektif.
Regionalisme baru di Afrika, ebrbeda dengan yang lama. Bila regionalisme lama ditandai dengan keterlibatan Uni Eropa dan NATO. Regionalisme baru dimaknai secara lebih kompleks. Berbagai sektor permasalahan muncul dengan wajah baru dan fitur-fitur baru pula. Terdapat koridor, ekologi dan hubungan trilateral yang rumit di Afrika. Keterlibatan kelompok intrapemerintah seperti Common Market of Eastern and Southern Africa (COMESA), the Economic Community of West African States (ECOWAS) dan the African Economic Community (AEC) juga tidak membantu pemulihan Afrika (Shaw, 2000 pg. 402). Permasalahan koridor di Afrika saya maknai sebagai suatu bentuk solid sekelompok akses yang memiliki legitimasi dan kewenangan dalam skala tertentu. Varietas koridor yang ada juga memiliki hubungan yang kompleks. Indikator-indikator regionalisme baru di atas menandai secara signifikan hubungan trilateral rumit yang terjadi antara pemerintah, struktur ekonomi dan masyarakat sipil. 
Dimensi permasalahan yang lintas batas memci intervensi pihak luar. Kudeta seringkali terjadi dan pergantian kepemimpinan sudha tak terhitung banyaknya. Struktur masyarakat Afrika yang dahulu mengenal persamaan telah diporakporandakan bangsa Eropa dengan apartheid dan propaganda lain (Lionel Cliffe dalam Shaw, 2000). Permasalahan mendasar lain juga tidak adanya basis solid integrasi. Yang ada hanyalah basis zona ekologi seperti gurun dan savanah, etnisitas historis, mitos dan bahasa serta even kultur moderen; tidak lebih dari itu. Tidak ada kesepahaman dalam skala tertentu mengenai regionalisme di Afrika baik secara internal maupun eksternal. Justru dalam dua atau tiga dekade belakangan ditemukan struktur baru dari perspektif realisme (realpolitik, realekonomi).
Pengamat dunia telah memberikan refleksi spekulatif mengenai permasalahan regionalisme di Afrika. Regionalisme baru dimaknai secara holistik terdiri dari faktor anarki yang menjadi ciri khas penyelesaian masalaha di Afrika, varietas identitas etnis primordial yang berjalan sendiri-sendiri, ambiguitas community security yang dimaknai sebagai new realism. Disebut realisme baru sebab negara tetap sebagai aktor yang berkonflik dan terkait memiliki peranan distingtif dan hubungan intrapemerintah yang strategis dan tidak menentu. Anehnya negara di Afrika berciri-ciri sama yaitu lemah dalam mempertahankan teritori dan legitimasinya. Perpektif regionalis baru membawa studi kajian ke dalam debat lebih lanjut yang mendasarkan asumsi pada hubungan trilateral aktor yang ada dan keseimbangan yang terjadi paskaKolonialisme, sejak era kemerdekaan dan sistem bipolar. Dominasi struktur trilateral juga termasuk keterlibatan organisasi humanitarian sehubungan dengan AIDS, anak dan HAM. Pendekatan neorealis menyebutkan spektrum peacebuilding dan peacekeeping harus melibatkan aktor non-negara, menyatukan kepentingan, dan isu-isu non-tradisional (di luar keamanan).
Regionalisme baru di Afrika juga menimbulkan tantangan-tantangan untuk dihadapi. Pertama, studi pembangunan dan implementasi kebijakan perlu dilaksanakan secara lebih fleksibel dan sustainable terutama di bidang human development and  security. Kedua, pandangan regionalisme baru bahwa transisi dari rezim insurgen di Afrika membutuhkan kerjasama dalam bentuk baru yang belum penah ada sebelumnya, karena varietas permasalahan di Afrika yang sedemikian kompleksnya. Dan terakhir, konflik di Afrika perlu dipahami sebagai konflik distingtif dan dibutuhkan pembelajaran khusus mengenainya.
Kehancuran di Afrika dapat ditanggulangi dengan pembangunan berfondasi demokrasi, sosialisme (kebersamaan), dan non-feodalisme. Afrika tidak seharusnya tunduk pada arus modernisasi, hal ini juga harus diupayakan untuk memutus mata rantai objeksasi dan eksploitasi Afrika oleh dunia luar. Negara-negara maju Afrika dan negara-negara persemakmuran juga seharusnya memiliki kontribusi yang lebih besar dalam menyatukan visi misi Afrika.
Akhir kata benar yang dikatakan oleh Daniel Bach bahwa sebenarnya globalisasi lah yang mendandakan regionalisasi konflik di Afrika; yang menuju pada ekonomi yang termarginalisasi dan inetrvensi berbagai pihak (Bach, 1999). Perlunya usaha bersama dari luar dan dalam yang inheren juga krusial untuk penanggulangan berbagai konflik di Afrika.
Regionalisme Afrika dengan wajah, konflik dan fitur baru telah menambah wawasan kajian studi hubungan internasional kawasan dan menjadi tantangan tersendiri yang sampai saat ini belum terjawab. Dibutuhkan lebih dari sekedar pembuatan badan penyelesian konflik internasional bagi Afrika karena ekskalasi konflik tekah terjadi dan pemain-pemain baru seperti mafia, pedagang berlian dan pemimpin ambisius baru telah muncul.
 
 
 
 
 
 

Referensi

 

 

Bach, Daniel, 1999, Regionalisation in Africa: Integration and Disintegration, Blooimington: Indiana University Press. 235 pp.

Hoogevelt, Anklie, 1997, Globalisation and the Postcolonial World: The New Political Economy of Development, Macmillan.

Shaw, Timothy M., 2000, NewRegionalism in Africa in the New Millenium on Renaissance, Realisms and/or Regressions, London: Carfax Publshing.

 



[1] Kondisi yang ditandai oleh kelumpuhan pemerintahan sehingga regulasi tidak bisa berjalan sama sekali.

[2] Pembangunan yang dipimpin dan direncanakan oleh negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar