Rabu, 04 Februari 2009

Keharusan Multinational Corporations (MNCs) Memiliki Legal Personality

Abstract

In the contemporary perspective of some multinational corporations (MNCs) being more economically powerful than many states, it is virtually self-evident that these entities are commonly considered the major phenomenon of the international economy today. Furthermore, this category of non-state actors is generally regarded as one of the ‘driving forces’ of the various processes of globalization. However, multinational corporations are not only from an economic perspective influential participants in the current international system. Rather, they are also to a growing extent participating, albeit in most cases still indirectly, in the international lawmaking as well as the law-enforcement processes, thereby considerably contributing to the inherent heterogeneity of modern partnerships in international law-making and international law adjudication. 

Multinational Corporations atau MNCs didefinisikan oleh Nancy L. Mensch, sebagai entitas yang melakukan kegiatan usaha di beberapa negara melalui cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya di seluruh dunia (terutama di negara-negara berkembang) di mana kantor pusatnya terletak di negara-negara maju. Perusahaan induk memilih untuk memiliki anak perusahaan di negara berkembang untuk mempermurah biaya produksi dan mempermudah pemasaran guna memperoleh profit sebesar-besarnya (location advantages). Keuntungan ini memungkinkan MNCs untuk mendapatkan tenaga kerja dengan gaji yang rendah, aturan perpajakan yang ringan dan aturan-aturan hukum lain yang lebih longgar.

MNC dapat kita anggap ‘membeli’ pemerintah negara setempat denagn melakukan foreign direct investment (FDI) agar pemerintah memberikan privilege berupa kelonggaran hukum dalam beraktivitas dengan dalih memacu laju perokonomian. Hal inilah yang mengawali legalitas praktik-praktik pelanggaran hak-hak buruh, perusakan lingkungan dan pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh MNCs.

Pada umumnya MNCs dikatagorikan sebagai badan hukum (legal person) yang mempunyai kedudukan yang sama dengan warga negara (natural person) di tempat dimana MNCs tersebut didirikan atau berdomisili usaha. Ini berarti secara teknis MNCs bukanlah international legal persons yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Dengan demikian negaralah satu-satunya entitas yang mempunyai kewenangan dalam mengatur kegiatan MNCs. Hal yang berbeda misalnya ditemukan dalam sistem hukum nasional sebuah negara, dimana setiap entitas telah mendapatkan kepastian tentang status hukumnya serta memiliki hak dan kewajiban yang dijamin oleh hukum.

Penulis pribadi sependapat dengan pendapat Nancy Mensch dan Karsten Nowrot bahwa MNC haruslah memiliki tanggung jawab hukum internasional. Karena pertama, usaha yang dijalankannya bersifat transnational atau melewati batas satu negara; kedua karena MNCs mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan ekonomi sebuah negara (terutama di negara berkembang) – bahkan kadang mampu memiliki kekuatan monopoli pasar dan kewenangan mengatur persyaratan kerja bagi buruh-buruhnya; ketiga, di banyak negara berkembang, MNCs mengelola kegiatan usaha yang berhubungan dengan pelayanan publik seperti transportasi, tenaga listrik dan telekomunikasi – hal ini secara tidak langsung seperti memberikan sebagian dari kewenanangan (kedaulatan) negara kepada MNCs.

Pengaruh ekonomi MNC sangat besar pada negara-negara berkembang seperti di Amerika Latin dan Asia Tenggara. MNC seolah menggerakkan roda perkonomian negara dan pemerintah dengan sengaja meringankan beban hukum MNC guna mengundang investasi lebih lanjut, yang secara disadari atau tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Dengan meringankan beban hukum MNC berarti membiarkan penderitaan rakyat suatu negara dan melegitimasi upah buruh di bawah UMR, dan standar-standar kesejahteraan lainnya.

Seperti yang telah kita sama-sama ketahui bahwa MNC bukanlah badan legal hukum internasional sehingga tidak dapat dikenai pasal hukum internasional apapun. Jadi selama ini hukum nasional lah yang secara terbatas mengatur legalitas MNC.

Sebenarnya sudah terdapat beberapa cara untuk meminta pertanggung jawaban MNC atas perbuatannya di negara-negara berkembang selain memberikan suatu personalitas hukum bagi MNC, namun kesemuanya tetap tidak dapat berjalan secara efektif.

Sebut saja melalui Corporate Social Responsibility (CSR), yang didefinisikan sebagai suatu komitmen yang berkelanjutan oleh para pembisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi pada pengembangan ekonomi, bahkan meningkatkan kualitas hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana hal nya pada komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1999 dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact, maka konsep CSR sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance. Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena ‘self-regulation’ terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”(1). Global Compact terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM (no. 1-2), empat di bidang standar tenaga kerja (no. 3-6), tiga di bidang lingkungan hidup (no. 7-9), dan satu di bidang anti-korupsi (no.10; masuk tahun 2004). Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)(2). Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Cara lain adalah melalui perjanjian internasional yang dianggap sebagai sumber hukum utama dalam hukum internasional, hal ini karena sifatnya yang mengikat dan terkadang memiliki mekanisme pemberian sanksi serta memiliki mekanisme pelaporan kepatuhan. Saat ini telah banyak jumlah perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanan tanggungjawab hukum MNC, namun sifat pembebanan tanggungjawab tersebut tidak secara langsung. Setiap negara peserta dalam sebuah perjanjian internasional umumnya memiliki kewajiban untuk membuat legislasi nasional yang efektif guna memaksa MNC mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut. Dengan demikian peran ketentuan hukum internasional dalam mengatur MNCs baru akan nampak bila negara telah mentransformasikannya kedalam hukum nasional. Contoh dari salah satu ketentuan ini adalah kewajiban dari maskapai penerbangan sipil untuk membayar ganti kerugian kepada penumpang dalam hal terjadi kecelakaan penerbangan. Tanggung jawab maskapai penerbangan tersebut asalnya adalah bersumber dari ketentuan dalam Warsawa Convention yang dituangkan kedalam hukum penerbangan nasional sebuah negara.  Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum internasional saat ini belum mampu untuk secara langsung membebankan tanggung jawab hukum kepada MNC, dan masih diperlukan kewenangan negara dalam memberi sanksi hukum sebagai perantara. Dalam hal ini, nampaknya hukum internasional masih belum beranjak dari penggunaan teori klasik yang menganut prinsip “negara-sentris”.

Kemudian ada code of conduct sebagai kesepakatan internasional yang mnegatur MNC. Contohnya saja The Coalition for Environmentally Responsible Economics yang merumuskan the CERES Principles. Dalam aturan ini dinyatakan sepuluh misi dan etika menyangkut kebijakan perusahaan terhadap lingkungan hidup, termasuk di dalamnya adalah kewajiban untuk secara periodik melaporkan pola-pola dan hasil dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidupnya.

Selain dari code of conduct yang dibentuk oleh private parties sebagaimana dua contoh di atas, menarik untuk menjadi perhatian adalah code yang dibentuk oleh negara-negara dalam sebuah organisasi internasional. Salah satu code terpenting yang memberikan panduan bagi kegiatan usaha MNCs adalah “The OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Berbeda dengan CERES Principles dan EICC yang dibuat atas kesepakatan beberapa MNCs, panduan ini dibuat atas kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-Operation and Development. Beberapa panduan penting yang tercantum di dalamnya adalah rekomendasi bagi MNCs yang berasal dari dan atau beroperasi di negara-negara OECD untuk membuka tidak hanya informasi laporan keuangan saja, tetapi juga laporan non-finansialnya yang meliputi informasi mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan sosial. Dalam hal ketenagakerjaan, panduan ini juga merekomendasikan kepada MNCs untuk secara aktif mendukung penghapusan kerja paksa (forced labor) dan untuk tidak mempekerjakan anak-anak (child labor). Selain dari pada itu, panduan ini juga memberikan rekomendasi khusus kepada MNCs berkaitan dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup, pemberantasan korupsi, perlindungan konsumen, penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan, persaingan usaha yang sehat dan kepatuhan terhadap aturan perpajakan.

Melihat kinerja dari mekanisme perjanjian internasional, code of conduct ataupun private parties; MNC masih saja tetap dapat mengambil celah dalam pengoperasioannya di negara berkembang. Contohnya saja, buruh Nike yang gajinya maish di bawah UMR, buruh GAP yang tempat kerjanya tidak memenuhi standar kelayakan, dan lain sebagainya. Dari adanya hal-hal seperti ini dapat disimpulkan bawa perang negara evagai negara penerima (recipient country) dari MNC ini sangatlah kurang dalam memnentukan dan menegakkan regulasi yang ada.

Oleh karena itu penulis percaya bahwa tangung jawab MNC akan lebih baik jika diregulasikan di taraf internasional. Namun untuk dapat memaksakan pelaksanaan sebuah instrumen hukum internasional terhadap MNC, diperlukan keterlibatan secara aktif oleh MNCs sebagai pihak dalam proses penyusunan, perumusan, persetujuan, penandatangan sampai dengan pengawasan implementasinya. Hanya saja, melibatkan MNCs sebagai pihak dalam pembentukan sebuah perjanjian internasional bersama-sama dengan negara akan menempatkan MNCs menjadi setara dengan negara yang mempunyai hak dan kewajiban internasional. Sedangkan untuk memiliki hak dan kewajiban dalam hukum internasional, sebuah entitas haruslah merupakan subyek hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, setidaknya terdapat tiga kritera yang bila salah satunya telah dapat dipenuhi maka sebuah entitas dapat memperoleh status sebagai subyek hukum internasional, kriteria tersebut adalah: pertama, adanya kapasitas untuk melakukan gugatan dalam hal terjadi pelanggaran hukum internasional. Kedua, adanya kapasitas untuk menandatangani perjanjian internasional. Ketiga, adanya privilege dan imunitas yang lahir dari natural jurisdiction. Kriteria ketiga ini umumnya secara khusus hanya dimiliki oleh negara karena memiliki wilayah dan kedaulatan atas wilayah tersebut.8 Sehingga berdasarkan kriteria diatas, legal personality dalam hukum internasional dapat diartikan sebagai adanya kapasitas untuk memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan aturan hukum internasional.

Ada beberapa alasan mengapa MNCs masih belum mendapatkan pengakuan sebagai subyek hukum internasional. Salah satunya adalah karena beberapa negara tidak bersedia untuk memaksa sebuah MNCs bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan usaha MNCs tersebut di negara lain, hal ini karena sebelum memaksa MNCs untuk bertanggungjawab maka negara harus terlebih mengakui international legal personality dari MNCs – pengakuan ini pada akhirnya akan menempatkan MNCs pada posisi yang setara dengan negara dalam hukum internasional. Beberapa negara khawatir bila MNCs mendapatkan kedudukan seperti negara dan memiliki hak sebagai subyek hukum internasional, maka MNCs akan mampu untuk mengajukan klaim-klaim hukum melawan negara berdasarkan hukum internasional.

Walaupun kekhawatiran beberapa negara tersebut cukup beralasan untuk dapat diterima, beberapa ahli berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua kemungkinan yang untuk membuat MNCs mempunyai legal personality dalam hukum Internasional. Kemungkinan pertama adalah menggunakan dasar yang sama dengan kondisi dimana individu diakui sebagai subyek hukum internasional. Dalam hukum nasional sebuah negara, badan hukum atau legal person mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan individu atau natural person. Dalam jurisdiksi nasional di beberapa negara, sebuah badan hukum bahkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan. Karena dalam hukum internasional saat ini individu (natural person) dapat dikenai tanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida, beberapa ahli berpendapat bahwa tanggungjawab pidana internasional seharusnya dapat dibebankan pula kepada badan hukum (legal person) termasuk MNCs.

Sebenarnya bisa saja MNC dikenai tanggung jawab hukum dengan status yang sekarang disandangnya, karena dalam teori klasik dalam hukum internasional tidak pernah menyatakan bahwa hanya tindakan pelanggaran oleh negara saja yang dapat dikatagorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional (internationally wrongful act). Setidaknya sebuah sumber hukum internasional yang berlaku sebagai sumber hukum sekunder atau secondary international law telah mengakui bahwa tindakan individu (person) atau sekelompok orang (group of persons) dapat dikenai tanggungjawab internasional bila individu atau sekelompok individu tersebut secara nyata menjalankan tugas atau kewenangan penguasa negara. Demikian juga tindakan non-state actors dapat dibebani tanggungjawab hukum internasional bila negara mengakui dan mengambil alih tindakan tersebut sebagai tindakan negara yang bersangkutan. Dengan demikian, tindakan MNCs yang merupakan tindakan sekelompok orang dapat dibebani tanggungjawab hukum internasional.

Rumusan aturan lebih tegas sebenarnya telah ada dan menunjuk MNC sebagai “group or organization” dapat ditemukan dalam The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD). Dalam konvensi ini secara jelas disebutkan bahwa:

“Each State Party shall prohibit and bring to an end, by all appropriate means, including legislation as required by circumstances, racial discrimination by any persons, group or organization”.

 

 Kata group atau organization dalam konvensi ini secara sederhana dapat diintepretasikan termasuk juga menunjuk pada MNCs. Kondisi yang sama juga dapat ditemukan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Oleh kovenan ini diatur bahwa:

 

Nothing in the present Covenant may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights or freedoms recognized herein… .”

 

Berdasarkan kovenan diatas, MNCs sebagai sebuah “group” tidak diberikan hak untuk melakukan tindakan yang dapat melanggar martabat manusia, kebebasan dari rasa takut dan perlakuan yang setara - sebagaimana tujuan dari kovenan ini.

Namun penting untuk dicatat bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional diatas - meskipun telah pula mengatur MNCs dalam katagori group atau organization - tidak secara langsung membebankan tanggungjawab internasional kepada MNCs. Tanggungjawab yang sebenarnya adalah berada pada negara-negara peserta konvensi-konvensi tersebut. Adalah menjadi kewajiban negara perserta konvensi untuk membuat aturan hukum nasional agar ketentuan hukum internasional tersebut menjadi efektif menjerat perilaku negatif yang dilarang oleh konvensi tersebut.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui The Norms on Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights (selanjutnya disebut dengan Norms). Instrumen ini secara resmi dikeluarkan oleh Sub Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada Agustus 2003. Secara utuh rumusan Norms ini menekankan kewajiban MNCs sebagai berikut:

…transnational corporations and other business enterprises have the obligation to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including the rights and interests of indigenous peoples and other vulnerable groups.”

Rumusan dari Norms di atas didasarkan pada pemahaman bahwa sebagai salah satu organ dari masyarakat atau “organ of society”, MNCs mempunyai kewajiban untuk mendorong dan menjamin perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Universal Declaration of Human Rights. Meskipun Deklarasi Umum tentang HAM (DUHAM) ini tidak secara tegas menunjuk pada MNCs, namun rumusan deklarasi telah berusaha mencakup semua pihak yang tergabung dalam masyarakat internasional, yaitu dengan menyatakan bahwa:

… every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure their universal and effective recognition and observance . . .

Yang menarik dari ketentuan ini adalah pertama, PBBlah yang bertugas mengawasi MNC selaku subyek non-hukum internasional. Sebenarnya terobosan ini justru akan menguntungkan bagi MNCs. Hal ini karena sebagai pihak yang diawasi, tentunya MNCs berhak melakukan tuntutan dan komplain bila terjadi kesalahan oleh PBB, organisasi internasional atapun nasional dalam melakukan penilaian yang merugikan MNCs. Dengan demikian, adanya kemampuan untuk menuntut dan melakukan klaim tersebut dapat menempatkan MNCs setara dengan PBB, organisasi internasional ataupun dengan negara yang mempunyai legal personality dalam hukum internasional. Di sisi lain tentunya, negara akan sangat mungkin menjadi pihak yang dirugikan. Kemungkinan adanya gugatan dari MNCs yang kadang mempunyai kekuatan ekonomi yang lebih besar dari GNP sebagaian negara-negara di dunia, menjadikan banyak negara berada dalam posisi terancam secara ekonomi.

Kedua, Norms ini mewajibkan kepada MNCs untuk memasukkan seluruh ketentuan Norms ke dalam setiap kontrak, perjanjian dan kesepakatannya dengan kontraktor, sub-kontraktor, penyalur, distributor atau dengan setiap orang atau badan hukum lain dengan tujuan untuk memastikan pelaksanaan dari Norms secara langsung dan meluas. Dengan demikian ketentuan dalan Norms ini dimaksudkan untuk bersifat mengikat pihak ketiga secara langsung bila yang bersangkutan melakukan hubungan hukum dengan MNCs dari negara peratifikasi Norms. Kewajiban seperti ini dapat dipahami untuk memastikan dan menjamin bahwa semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan usaha MNCs akan melaksanakan kewajiban perlindungan hak asasi manusia. Namun kewajiban tersebut nampaknya secara sengaja dibuat berlawanan dengan prinsip hukum umum dalam yang berlaku dalam hukum internasional yaitu prinsip pacta sunt servanda.

Sayangnya upaya PBB untuk menyediakan instrumen yang mampu mengontrol efek negatif dari pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk Norms ini tidak mendapatkan tanggapan yang serius. Nancy L. Mensch mencatat bahwa Norms ini tidak mendapatkan dukungan dari organisasi internasional seperti International Chamber of Commerce (ICC) dan International Organisation of Employes (IOE), yaitu karena pendekatan yang terlalu legalistik dan sifat langsung dan meluas dari aturan pelaksanaanya. Penolakan yang sama muncul dari negara-negara berkembang, yaitu karena adanya kewajiban untuk mengawasi dan melaporkan secara periodik kepada PBB. Keengganan negara-negara untuk mengawasi dan melaporkan ini timbul karena kewajiban ini berlawanan dengan kepentingan dari negara berkembang untuk mengundang investasi asing. Ironisnya lagi, pemberlakuan Norms ini justru tidak mendapatkan dukungan dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB itu sendiri. Komisi ini menyatakan bahwa karena pembentukan Norms bukanlah atas permintaan resmi dari Komisi HAM PBB, maka Norms ini tidak mempunyai legal standing untuk dapat diberlakukan. MNCs. Kesepakatan ini dapat menjadi jalan keluar untuk menjawab kekhawatiran negara-negara berkembang terhadap klaim-klaim dan gugatan-gugatan hukum yang mungkin dapat diajukan oleh MNCs bila status haknya setara dengan negara.

Upaya untuk membebankan tanggungjawab secara internasional kepada MNCs sebenarnya telah didorong dan diimplementasikan oleh organisasi-organisasi internasional publik maupun privat. Namun tidak adanya pengakuan kepada MNCs untuk dapat bertindak sebagai pemegang hak dalam hukum internasional menjadikan implementasi pembebanan kewajiban internasional kepada MNCs menjadi tidak efektif. Terobosan hukum sebagaimana yang nampak dalam Norms di atas semestinya dapat menyelesaikan permasalahan ini. Sayangnya usaha untuk mengimplementasikan Norms tidak mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk dari negara-negara berkembang. Untuk itu diperlukan kerjasama sinergis antara beberapa organisasi-organisasi internasional dalam merumuskan mekanisme hukum untuk mengawasi dan mengontrol perilaku negatif dari MNCs. Kandidat utama dalam kerjasama ini tentunya adalah dua organisasi internasional terbesar saat ini, yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa dan World Trade Organisation (WTO). Alasan utama untuk melibatkan WTO dalam menyelesaikan masalah ini adalah karena kecenderungan negara-negara untuk memperhatikan secara serius isu-isu hukum yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Kerjasama ini dapat menjadi jalan keluar bagi kebuntuan negosiasi di dalam tubuh PBB sendiri, yaitu seperti yang terjadi pada Norms yang “dibunuh” sebelum lahir oleh Komisi HAM PBB itu sendiri.

 

Penutup

 

Dari bagian kedua dan ketiga tulisan ini cukuplah untuk dikatakan bahwa meskipun telah terjadi perkembangan dalam hukum internasional berupa pengakuan terhadap non-state actor sebagai subyek hukum internasional, tetapi perkembangan ini belum menempatkan MNCs sebagai pemegang hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Dengan demikian sampai saat ini MNCs masih berstatus sebagai obyek hukum internasional, dan pembebanan kewajiban kepadanya tidak dapat dilakukan secara langsung melainkan melalui kewenangan negara. Sebagaimana telah dibahas diatas, negara - negara (utamanya negara berkembang) justru berlomba untuk semakin meringankan hukum nasionalnya bila terkait dengan investasi asing. Dengan demikian ketergantungan kepada hukum nasional kurang dapat diandalkan untuk mengurangi, mencegah dan menghukum perilaku negatif dari MNCs berupa pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan, pengabaian hak konsumen dan persaingan usaha yang tidak sehat. Untuk itu diperlukan adanya instrumen hukum internasional yang dapat diterima baik oleh negara-negara dan oleh MNCs sehingga dapat diimplementasikan secara langsung. Bila negara-negara masih enggan untuk duduk setara dengan MNCs dalam negosiasi dan perancangan sebuah perjanjian internasional, maka terlebih dahulu dapat dibuat kesepakatan tentang batasan hak-hak internasional yang dapat dimiliki oleh

 


Referensi

 

Nowrot, Karsten, New Approaches to the International Legal Personality of Multinational Corporations towards a Rebuttable Presumption of Normative Responsibilities.

Prihandono, Iman, Status dan Tanggung Jawab Multi National Companies (MNCs) dalam Hukum Internasional, www.iprihandono.files.wordpress.com.

Reksodiputro, Mardiono, 2004, Sektor Bisnis sebagai Subyek Hukum dalam Kaitan dengan HAM, www.hukum@duniaesai.com.

Sembiring, JJ Amstrong, 2007, Perusahaan Multinasional, www.ab-fisip-upnyk.com/cetak.

___________, 2008, MNC dan Akuntabilitas Perusahaan, http://indonesiamasadepan.net.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar