Rabu, 04 Februari 2009

Pembangunan Bermuka Dua: Kesenjangan antara Utara dan Selatan


Pembangunan tidak dapat dipungkiri merupakan suatu hal yang dinamis dan aplikasinya tidak dapat merata di  berbagai negara. Pertanyaan besar muncul tiap tahunnya, mengapa banyak Negara yang Kurang Berkembang/NKB (Less Developed Countries/LDC) masih tetap miskin, belum berkembang, bahkan tidak berkembang? Sedangkan ada negara-negara lain yang memiliki standar hidup tinggi, distribusi pendapatan cenderung merata dan terdapat negara berbasis ekonomi yang makmur penduduknya. Artikel ini akan mengulas sebab-sebab ketertinggalan pembangunan oleh negara-negara yang kurang berkembang, usaha-usaha yang dilakukan mengenai hal itu dan juga menyediakan sekelumit overview tentang disparitas ekonomi, politik dan sosial yang luas dan jelas antara negara berkembang dan kurang berkembang. Asal-usul kesenjangan juga diceritakan dalam bab ini juga membahas mekanisme organisasi internasional sebagai mekanisme perubahan dalam ekonomi politik internasional. Terakhir artikel ini membahas bagaimana Negara-negara Industrialis Baru/NIB (Newly Industrialized Countries/NIC) yang merupakan cerita sukses pembangunan dalam era paska perang.

Entah ini adalah paradoks yang disengaja atau tidak, bahwa negara-negara maju dan berkembang terletak di bagian utara dan negara-negara yang kurang berkembang di bagian selatan (baik bagi negara-negara di belahan bumi utara atau selatan). Lihat saja, Singapura dan Indonesia di Asia Tenggara; Uganda dengan Haiti dan Bangladesh; negara penghasil minyak di bagian utara Timur Tengah dengan negara non penghasil minyak; walaupun letak geografis negara-negara tersebut berdekatan, namun pembangunan antara keduanya tidak merata. Melihat hal ini, negara-negara di dalam kawasan berkembang terbagi jadi empat kategori: negara kaya penghasil minyak, NIC, negara termiskin di Sub-Sahara Afrika dan NKB lain yg termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Pembangunan ekonomi sendiri diukur dari kemampuan untuk memproduksi kesejahteraan ekonomi, yang mentransformasi masyarakat berbasis agrikultur menjadi berbasis manufaktur produksi dan jasa.

Terdapat ciri khas tertentu yang similiar dari NKB seperti kelaparan, kekeringan, perang saudara atau perang sipil, kekurangan air bersih, tingkat harapan hidup rendah, buta huruf dan kekurangan air bersih. Ironisnya lagi, 80% kesejahteraan di dunia hanya dinikmati oleh minoritas penduduk dunia, dan 20% sisanya lah yang berusaha dibagi untuk mayoritas penduduk dunia yang digolongkan dalam Third World Countries’ people.

Distribusi pendapatan dalam NKB sulit diukur. Yang banyak terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Asia Tenggara adalah, kesejahteraan hanya dinikmati kelompok minoritas (biasanya pejabat korup).

 

PEMBANGUNAN BERMUKA DUA

Adanya Negara-negara Dunia Ketiga (NDK) sebenarnya telah tercetak sejak berakhirnhya kolonialisme Eropa yang membuat sebagian negara jadi independent state dan negara lainnya ikut arus Barat dan ikut terombang-ambing dalam perang. Pecahan-pecahan mantan negara jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Latin mengalami perkembangan yg berbeda pula. Semuanya semakin kacau saat benih-benih Perang Dingin tahun 1950-an mulai muncul dan pembentukan kedaulatan (nation and state building) sulit terjalin.

Dilema pembangunan dipahami sebagai suatu hal yang kompleks. Di satu sisi, Barat mencoba memaksakan model ekonominya terhadap NKB, namun sampai sekarang tidak berhasil. Namun Barat terus saja membela diri dengan mengangkat Singapura, Korea Selatan dan Cina (NIB) sebagai pembanding, bahwa negara-negara tersebut berhasil menerapkan ekonomi liberal dan sejahtera. Namun sebenarnya justru negara-negara tersbut tidak sepenuhnya mengadopsi model ekonomi Barat, melainkan memiliki sistem ekonomi sendiri yang ebrkolaborasi dengan sistem ekonomi Barat. Misal di Cina, tidak sepenuhnya bermodel ekonomi kapitalis, melainkan juga merkantilis. Bahkan bisa dibilang Cina berkebijakan kapitalis ke luar dan komunis ke dalam. Pemerintahan dalam NIB bahkan tidak sepenuhnya demokratis. Singapura cenderung otoriter, Cina cenderung komunis juga Korea Selatan yang berbasis monarki konstitusional.

Adanya diparitas pendapatan dan kesejahteraan ini menjadi dilema dan diterjemahkan sebagai dilema Utara dan Selatan. Instabilitas politik dan ekonomi di NKB menjadi sorotan pada tatanan ekonomi internasional paska perang. Negara-negara berkembang mendoktrin pentingnya kesejahteraan ekonomi untuk memperkuat identitas negara dan stabilitas politik domestik.

Pembangunan di NKB diterjmahkan bermuka dua. Di satu sisi, pembangunan menawarkan akhir dari kemiskinan dan awal dari kemandirian yg sesungguhnya yg sangat menggoda bagi para pemimpin dan penduduk NKB. Di sisi lain, pembangunan berarti eksploitasi, manipulasi dan ketergantungan berkelanjutan. Selain itu, terdapat juga empat faktor yg membentuk dilema pembangunan bagi NKB pada era paska perang, antara lain luka akibat penjajahan yg masih segar dlm ingatan, sikap NKB terhadap Barat bukan semata-mata politis dan ekonomikal tetapi juga sebenarnya ingin menghapus dominasi kultur Barat, faktor ketiga dan krusial adalah Perang Dingin dan faktor terakhir adalah contoh sukses negara berkembang membuat iri NKB dan membuat mereka ingin segera mengikuti langkahnya dengan menagdopsi sistem ekonomi berbasis pasar. Bagi NKB, secara tidak langsung masuk dalam IMF, Bank Dunia dan GATT adalah wajib hukumnya karena organisasi ini mensimbolkan ekspansi pasar dalam dunia ekonomi.

Pertimbangan untuk ikut sistem ekonomi model Barat ditambah konflik Perang Dingin memperumit NKB dlm mengambil keputusan. Oleh karen itu diadakan Dialog Utara-Selatan dengan maksud mencari jalan keluar akan permasalahan ini.

 

PERDEBATAN UTARA–SELATAN

Permasalahan dilematis yg dihadapi NKB ditanggapi berbeda di beebrapa kawasan. Di Asia dan Afrika, beberapa pemimpin negara independen mengadakan Konferensi Asia-Afrika dengan pemrakarsa Jawaharlal Nehru (India), Soekarno (Indonesia), Marshal Tito (Yugoslavia), dan Gamal Abdul Nasser (Mesir). Pemimpin-pemimpin ini berkumpul dan merencanakan terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB) dengan maksud tidak memihak Blok Timur (Uni Soviet) atau Blok Barat (AS) dalam Perang Dingin.

Sedangkan di Timur Tengah, SDA dari negara penghasil minyak dikuasai oleh perusahaan minyak AS yg terkenal dengan sebutan ‘the Seven sisters’. Perusahaan-perusahaan ini mengekslplotasi SDA di Timur Tengah, tentunya dengan membayar royalti kepada negara tuan rumah. Negara tuan rumah pun menurut saja dan duduk manis ketika disuapi dolar.

Masalah  lain yang terjadi ada NKB adalah sulitnya NKB menjadi pemroduksi barang ketika harus bersaing dengan negara berkembang. Sistem ekonomi liberal mengharuskan tiap negara mempunyai produksi manufaktur tertentu, namun yang hanya dipunyai NKB kebanyakan adalah bahan mentah dan mereka kekurangan teknologi dan SDM untuk mengolah menjadi barang jadi; sehingga paling baik yg bisa dilakukan adalah menambah nilai produksi suatu barang. Kontrol legal yg ketat, hak paten dan hak milik cenderung mempersulit NKB untuk menghasilkan produksi. Kekuatan finansial perusahaan multinasional dan pengaruh negara berkembang mengarahkan NKB pada akses pendanaan bagi pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, menuju pada investasi dan bantuan luar negeri yang akan dibahas secara lebih detail pada sub bab berikutnya.

 

MERUBAH SISTEM: UNCTAD DAN NIEO

Karena merasa tertinggal dan mentok dalam pembangunan, akhirnya NDK berbondong-bondong bergabung dalam organisasi ekonomi internasional dengan harapan dapat memperbaiki perkonomian internal mereka. Negara berkembang mempetimbangkan adanya sebuah dialog sebagai usaha menjembatani problem politis, ekonomi, pembangunan dan isu lain antara negara berkembang, NBK dan NDK. Pada tahun 1964, terbentuklah United Nations  Conference on Trade and Developments (UNCTAD) yang langsung diikuti oleh 77 NKB yang dinamakan Grup 77 (G-77).

Negara-negara penghasil minyak yg tergabung dalam OPEC, di tahun 1973 menambah problem internasional dengan mengembargo beberapa NIB dan negara berkembang serta menaikkan harga minyak sebanyak 400% sebagai bentuk protes terhadap tindakan Israel terhadap Palestina dan memrotes dukungan negara-negara terhadap Israel. Hal ini tidak bertahan lama, meskipun negara-negara OPEC sudah menyatakan poinnya bahwa mereka tidak bisa diremehkan dalam percaturan politik internasional.

Negara-negara Barat (AS, Kanada, Eropa Barat) tetap mendominasi sirkulasi minyak dan terus melakukan eksplotasi terhadap SDA dan SDM di NKB dan NDK. Hal-hal di atas mendorong terbentuknya New International Economic Order (NIEO), dan merubah kesenjangan ekonomi antara NKB dan negara-negara industrialis. Misi-misinya antara lain liberalisasi perusahaan negara; pengembangan relief program pendanaan (badan hutang); lebih aktif berpartisipasi dalam IMF, Bank Dunia dan GATT; dan menaikkan derajat kedaulatan ekonomi NKB.

Setelah beberapa tahun keanggotaan, tetap tidak ada hasil yang signifikan di satu NKB pun. Hal ini disebabkan inisiatif akan NIEO yang diimami AS tidak mempertimbangkan faktor-faktor internal dalam NKB yang berbeda-beda satu sama lain, sepeti instabilitas politik pemerintahan dalma negara, konflik etnis, rendahnya tingkat pendidikan, tingginya tingkat korupsi dan lain sebagainya. Bahkan beberapa pihak mengklaim bahwa NIEO hanya sebagai kendaraan menguasai sektor ekonomi NKB dalam skala mikro dan merupakan ancama politis thd NKB.

Negara OPEC walaupun sedikit, berperan menghutangi NKB. Jadi saat ada krisis minyak dalam OPEC, hal ini justru mendorong NKB untuk lebih bekerjasama dan bergantung kepada negara-negara Barat. NKB merasa sangat terpuruk saat kehilangan bantuan dari OPEC, dikarenakan faktor instabilitas internal dan defisit perkonomian.

Penting untuk diketahui bahwa dialog Utara-Selatan terbentuk oleh debat fundamental teoritikal, yang masing-masing memberikan representasi politik-ekonomi yg berbeda-beda serta langkah-langkah pembangunan yg berbeda pula. Dari sini, kita mulai menelaah pembangunan dipandang dari tiga perspektif

 

1.     Model Liberal dan Pembangunan Ekonomi

Model ini fokus pada fungsi pasar internasional dan penampilan keseluruhan dari pembangunan ekonomi liberal. Maka dari itu, negara-negara berkembang setengah memaksa NKB untuk berintegrasi dalam sistem ekonomi internasional guna meningkatkan produktifitas dan menstimulasi perdagangan. Namun, negara berkembang tidak memerhatikan hambatan internal seperti kurangnya teknologi, sistem nilai tradisional yg telah mendarah daging dalam masyarakat.

Teori yang dinilai aplikatif untuk NKB adalah Teori W.W. Rostow. Tahapan pembangunan yang dikemukakan oleh W.W. Rostow, yang menurutnya bahwa dalam suatu pembangunan itu mengalami semacam metamorfosis (tahapan) untuk menuju suatu puncak kejayaannya. Dan itu mau tidak mau harus dilalui suatu bangsa. Adapun tahapannya sebagai berikut :

a)     Tahapan Masyarakat Tradisional

Adapun yang dimaksud dengan tahapan masyarakat tradisional itu bisa dilihat dengan tinggi rendahnya pendidikan dalam suatu masyarakat, jauh dari perkotaan (pedesaan), mata pencarian mayoritas bertani, adat istiadatnya masih kuat dan semua fasilitas penunjangnya, seperti alat-alat pertanian masih bersifat sederhana. Dan dalam tahapan ini bangsa Indonesia pun masih memiliki masyarakat yang tradisional.

b)    Tahapan Pra Kondisi Lepas Landas 

Dimana telah terjadi pergeseran, walaupun tidak bersifat revolusioner, dari masyarakat bertani ke masyarakat industri. Nah, di Indonesia saat sekarang ini yang sebagian pengamat Indonesia mengalami masa transisi yang masyarakat bertani ke masyarakat industri walaupun tidak secara besar-besaran.

c)     Tahapan Lepas Landas

Untuk menjadi bangsa yang maju maka kita harus melewati suatu tahapan yang mana dinamakan tahap lepas landas. Syaratnya harus bisa mendongkrak pendapatan kotor negara antara 5 – 10 % (GNP), memiliki lebih dari satu industri manufaktor sebagai leading sektor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan adanya perubahan dalam kehidupan masyarakat.  

d)    Tahapan Menuju Kedewasaan

Tahap menuju kedewasaan merupakan suatu tahap dimana penerapan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alamnya mulai diterapkan. Hal ini diukur dengan tingkat produktifitas dan tingkat keterbukaan investasi.

 

2.     Ketergantungan: Pembagunan atau Keterbelakangan

Tahun 1960-an, asumsi kaum liberal banyak mendapat kritik yg kebanyakan datang dari Economic Comission for Latin America (ECLA). Sistem ekonomi liberal menyebabkan semakin maraknya buruh dan timbulnya kaum marginal dlm ekonomi. Kritik lain yaitu sistem yang mengharuskan adanya produksi, menimbulkan pertanyaan akan siapa yg mengonsumsi. Akhirnya, negara industri memasarkan produk dan juga mengambil bahan mentah dari NKB atau NDK. Siklus itu sama saja pemerasan yg tak berujung dan seperti menjebak NKB dan NDK dalam situasi tdk menguntungkan.

Sistem ekonomi liberal mengakibatkan ketergantungan ekonomi, yg awalnya dianggap sebagai suatu keseimbangan padahal justru menyebabkan instabilitas ekonomi. Dengan begini, dunia akans emakin timpang; yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin; tak ada bedanya dengan imperialisme jaman kolonial.

Organisasi ekonomi internasional juga tidak membantu karena menyarankan kebijakan yg justru menyengsarakan antara lain privatisasi perusahaan negara, menghilangkan subsidi bagi rakyat, membuka lahan investasi sebesar-besarnya dan menerima bantuan luar negeri. Keempat hal ini justru faktor katalisator interdependensi yg lebih akut lagi (seperti yg sudah dijalankan Inodnesia, beberapa negara Timur Tengah dan beberapa Negara Amerika Latin). Bahkan, Andre Gunder Frank mengkritisi bahwa dunia ekonomi kapitalis hanyalah penghambat pembangunan NKB. Nyatanya ‘macan-macan’ Asia yg tidak tunduk pada liberalisme bisa makmur, seperti Cina, Jepang, Malaysia, Korea Selatan dan Singapura. Mereka-mereka inilah yg justru mendikte perekonomian di kawasan masing-masing; dengan model ekonomi masing-masing yg kemudia terintegrasi dengan kapitalisme.

Perspektif ketergantungan juga memuat inisiatif impor barang untuk mencukupi kebutuhan dalma negeri yg notabene memainkan negara sebagai peran utama. Padahal, sama-sama diketahui bahwa pemerintahan NKB tidak stabil, korup dan tidak dapat diandalkan.

Akhir kata, yang disarankan oleh teoritisi dependensi adalah ‘self-reliance economic growth’. Saya menerjemahkannya sbg, ‘Jangan takut jadi radikal!’. Cina saja sampai sekarang masih komunis dan tetap bisa stabil dan makmur dg perkenomian merkantilisnya. Kuba yg dianggap ‘failed state’ dan diembargo AS, menjalankan  sistem ekonomi sendiri dan nyatanya mereka dapat mencukup kebutuhan rakyatnya, bahkan tingkat buta hurufnya terendah nomo dua di dunia. Terbukti, bahwa siapa pun tidak perlu ikut model Barat sebagai panutan kesejahteraan.

 

3.     Konsensus Neoliberal dalam Pembangunan

Sebagai counter akan dependency theory, kaum neoliberal memperbarui preskripsi ekonomi liberal, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di tahun 1980-an. Asumsi kaum neoliberal berhasil muncul ke permukaan dan jadi acuan serta solusi bagi banyak negara sampai sekarang.

Konsensus neoliberal berasumsi bahwa kebijakan domestik NKB adalah faktor utama kegagalan pembangunan. Mereka menyalahkan kebijakan NIEO dan menyarankan kebijakan baru yg eksesif, perfeksionis dan anti kebijakan pasar. Pemfokusan kebijakan yg dilakukan seputar deregulasi, privatisasi dan perdagangan bebas. NKB membutuhkan Structural Adjustment Program (SAP) untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman dan agar dapat berintegrasi ke dlm perekonomian internasional.

 

NEGARA INDUSTRIAL BARU

Mengacu pada perekonomian tahun 1980-an, Kukreja memasukkan Korsel, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Argentina, Brazil, Meksiko dan Venezuela sebagai negara industri sukses. Namun saya lebih tertarik negara potesial industri kontemporer, Indonesia. Sebelum krisis, Indonesia oleh John Naishbitt disebut-sebut sebagai kandidat Macan Asia paling serius, bersama Malaysia, Singapura dan Korea Selatan. Macan Asia merupakan julukan bagi negara yang menguasai ekonomi di Asia. Saat ini hanya Jepang yang dapat dikatakan sebagai The Real Asian Tiger. Kuatnya posisi Jepang sebagai anggota G-8 (pengendali ekonomi dunia) mengukuhkan kaki Asia di tengah dominasi Eropa dan Amerika dalam ekonomi. Beberapa negara Asia yang kini bersaing ketat untuk mendampingi Jepang adalah tiga negara yang sebelumnya merupakan kandidat Macan Asia di atas. Mungkin ditambah Cina dan India yang mengalami kemajuan pesat beberapa tahun terakhir. Dimana posisi Indonesia? Perekonomian kita mengalami ‘mati suri’ setelah terkena bada krisis. Namun kini perekonomian Indonesia setahap-demi setahap mulai bangkit. Pada tiga sampai lima tahun ke depan (perkiraan Standard Characted Bank), Indonesia akan menjadi Macan Baru ekonomi Asia. Tingginya kepercayaan investor saat ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin guna menjaga iklim investasi yang sedang hangat.

Paket Kebijakan Investasi yang diluncurkan pemerintah merupakan jalan menggapai impian menjadi salah satu Macan. Parameter awal adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi tahun ini ke level 6 persen pada akhir tahun nanti. Yang membedakan paket kebijakan investasi pemerintah saat ini dengan paket-paket ekonomi di masa lalu, saat ini tidak ada estimasi yang muluk-muluk. Juga tidak ada buaian mimpi-mimpi indah yang sejatinya hanya ‘candu’. Paket ini berisi jadwal dan target serta langkah konkret pemerintah untuk memperbaiki apa yang menjadi perhatian dunia usaha. Paket kebijakan yang dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2006 itu memuat matriks program berisi serangkaian tindakan, hasil yang dituju, target waktu, serta penanggung jawab setiap komponen. Langkah tersebut meliputi upaya memperkuat kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, serta usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Gebrakan kongkrit yang dilakukan pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi adalah menyederhanakan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha. Dengan langkah ini diharapkan waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin pendirian usaha berkurang, dari rata-rata 150 hari menjadi 30 hari. Hal itu antara lain ditempuh dengan cara pendelegasian wewenang pengesahan badan hukum kepada Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia di provinsi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pembenahan perpajakan dalam paket tersebut terkait dengan target menyelesaikan amandemen tiga undang-undang (UU), yakni UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, serta UU Pajak Pertambahan Nilai.

Namun harus diakui, di samping gairah hebat pemerintah menarik investasi ke Indonesia, banyak tantangan yang harus diatasi guna merealisasikan iklim investasi yang optimal. Peluang ekspor kita yang cukup cerah juga harus disambut dengan penataan infrastruktur dan menekan biaya ‘siluman’. Dua hal ini menjadi faktor penghambat laju ekspor, khususnya ekspor non migas. Infrastruktur yang mendesak diatasi adalah memperbaiki jalan raya dan kemacetan sebagai akses utama barang ekspor. Pada 2005 lalu kinerja ekspor nasional naik 18,55 persen dari tahun sebelumnya, atau sebesar US$ 66,31 miliar. Selain kemacetan, penyebab lambatnya laju ekspor nonmigas adalah buruknya infrastruktur, termasuk jalur jalan ruas pelabuhan ke berbagai kawasan industri manufaktur. Dampaknya, biaya angkut menjadi lebih tinggi dan iklim usaha menjadi tidak kondusif karena bahan baku terlambat sampai di lokasi pengolahan. Kondisi jalan memang tidak layak karena kualitasnya tidak sesuai dengan bobot kendaraan. Truk selalu bisa melintas karena fungsi jembatan timbang tidak berjalan dan malah dimanfaatkan untuk kontribusi pajak dan pungutan untuk pendapatan daerah. Padahal, Bank Dunia dalam sebuah kajian mengenai pemulihan daya saing Indonesia menuliskan, ekspor bisa naik di atas 18 persen dengan hanya meningkatkan logistik dan prosedur pelabuhan setengah dari rata-rata efisiensi negara APEC. Dengan kata lain—di mata Bank Dunia—potensi ekspor Indonesia sangat menjanjikan.

Pemerintah pun melakukan pemangkasan serupa agar iklim investasi membaik. Aksi mogok di empat pelabuhan besar nasional baru-baru ini direspon positif oleh pemerintah dengan menghapus PPN. Biaya PPN di pelabuhan memang menjadi problem tersendiri. Di satu sisi pemerintah memerlukan tambahan dana segar dari sektor itu sekitar 2 Triluan per tahunnya. Tapi di sisi lain, PPN tersebut dirasakan memberatkan sektor angkutan darat.

Arus modal asing yang masuk ke Indonesia saat ini mencapai 338,9 Trilun rupiah. Namun dari jumlah itu, hanya 165,6 trilun rupiah atau 48, 86 persen yang berupa Foreign Direct Investment (FDI). Sisanya adalah hot money berupa portofolio yang berjangka pendek dan sangat rentan terhadap gejolak. Guna menahan selama mungkin modal asing berjangka pendek tetap berada di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) tetap mematok suku bunga di kisaran 12,75 persen. Tahun 2005, suku bungan BI berada pada level 12,25 persen. Namun langkah BI dengan suku bunga tinggi ini dengan sendirinya menghambat kegiatan ekonomi nasional. Dukungan dunia perbankan terhadap sektor riil juga terasa kurang maksimal dengan beban bunga yang di atas dua digit. BI memang berada dalam posisi dilematis, antara menahan dana asing yang jumlahnya cukup besar, atau menggerakkan sektor riil dengan penurunan suku bunga. Tapi, jika belajar dari pengalaman saat krisis, sektor riil (dan informal) terbukti paling liat bertahan di tengah hantaman badai krisis. Di sisi lain, tak ada jaminan dana asing akan tetap bertahan walaupun BI mematok suku bunga di atas yang sekarang berlaku. Pasalnya, investor dapat menarik dananya sewaktu-waktu sesuka hati mereka.

Sebagai perbandingan, di negara-negara lain, suku bunga bank sentral tak ada yang melampaui satu digit. Di Amerika, suku bunga efektif pada level 4,50 persen. Untuk Eropa, 2,50 persen. Bahkan Jepang menetapkan suku bunga 0,00 persen sehingga sangat kompetitif menarik investor. Filipina dan Thailand, dua negara yang tengah berada dalam gejolak politik pun hanya mematok suku bunga pada kisaran 7,50 dan 4,25. Sementara Indonesia jauh di atasnya. Dengan demikian, kita terlihat kurang kompetitif di mata investor. Seharusnya, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dengan memangkas ‘biaya siluman’, memotong meja birokrasi dan menghapus PPN diikuti kebijakan suku bunga BI yang pro pasar dan pro investasi. Bukan sebaliknya, menetapkan suku bunga yang ‘berlawanan’ dengan iklim investasi. Kini dukungan dari BI amat dibutuhkan guna membangkitkan ‘Macan Asia’ yang tertidur sekian lama.

 

KEHILANGAN [EGANGAN: SITUASI TERPURUK AFRIKA

Terlepas dari berkembang atau tidak berkembang, maju atau tidak maju, Afrika selalu jadi korban yang tidka pernah ada hentinya. Problem internal di sana sudah akut, ditambah dengan problem eksternal yg merajalela. Seorang ekspert meneliti bahwa ketertinggalan Afrika disebabkan antara lain karena absennya pemerintah&institusi politik yg solid dan legitimatif (di sana kudeta dapat terjadi berulang-ulang dalam satu tahun, belum ditambah percobaan pembunuhan terhadap pemimpin negara dan intervensi pihak asing); SDA yg disalah gunakan untuk kepentingan berbagai pihak, sehingga Afrika yg seharusnya kaya SDA menjadi negara termiskin karena hasil bumionya diselewengkan; faktor historis antar suku (seperti yg terjadi di Sudan dan Rwanda), agama, ras di Afrika sampai sekarang kerap menimbulkan perang saudara, antar-etnis, dll; dan yang terakhir penduduk Afrika banyak dieksploitasi menjadi buruh kasar sehingga tidak terdidik dan tidak dapat membangun negara.

 

KONKLUSI

Pembangunan beberapa dekade belakangan telah menjadi tantangan bagi sebagian besar NKD. Komposisi permasalahan internal dan eksternal adalah faktor penghambat terbesar jalannya pembangunan. Sekarang, asumsi konsensus neoliberal sudah tidak lagi jadi acuan bagi pembuatan kebijakan beberapa negara. Contohnya Indonesia yg sudah membangkang IMF dengan melunasi hutangnya thd IMF dan berjanji tidak lagi akan mengadopsi kebijakan-kebijakna IMF. Bahkan Argentina lebih ekstrem menyatakan tidak akan membayar hutangnya pada Bank Dunia atau IMF dan fokus pada perbaikan ekonomi internal.

Jadi potensi maju dan penyelesaian tiap negara itu pasti ada. Tinggal pintar-pintar pemimpin negara mengarahkan kebijakannya dan sasaran kebijakannya. Meski kenyataan sampai sekarang pembangunan tetap bermuka dua, paling tidak adopsi akan sistem ekonomi liberal sudah dihentikan oleh beberapa NDK dan beberapa ide orisinil akan ekonomi mulai diterapkan.

Negara-negara seperti Irak, Sudan, Rwanda, Burundi, Algeria, dan lainnya yg terjebak dalam konflik regional dan internasional akan mempengaruhi karateristik negara dan perannya dalam skala ekonomi yg lebih besar. Di sisi lain, potensi beberapa negara untuk jadi negara industri maju seperti Argentina, Brazil, Turki, bahkan Indonesia tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pemain-pemain baru dalam perekonomian global dan membawa pengaruh tersendiri terhadap disparitas yang ada.

 

 

Referensi

Kukreja, Sunil, The Two Faces Development.

Perkins, John, 2004, Confessions of an Economic Hitman, Jakarta: Ufuk Press.

 

 

2 komentar:

  1. Waduh.. ini mah bahan kuliah semua yang ditampilin di sini.... Ga seru... :(

    Emang nih, kesenjangan antara utara dan selatan terjadi di Indonesia. Pulau Jawa bagian utara dan bagian selatan. Silahkan dilihat, bagian utara jauh lebih maju eknominya dari pada bagian selatan. Entah kenapa pemerintah pusat lebih menaruh perhatian ke pada bagian utara. Infrastruktur lebih baik, makanya investor pada meng-invest industri di sana.
    Sedangkan, infrastruktur di bagian selatan P. jawa sungguh menyedihkan. Banyak jalan rusak, prasarana umum ga diperhatikan. Keadaan ini bukan berarti bagian selatan harus di-industrialisasi-kan juga seperti utara. Sebaiknya infrastruktur diperbaiki untuk menunjang kegiatan pertanian yang ada. Jangan seperti di utara, banyak lahan pertanian yang dialihfungsikan jadi industri. Jadi pedang bermata dua deh... Di satu sisi membuka lapangan pekerjaan, yaitu buruh. Di sisi lain, petani jadi nganggur gara2 ga ada lahan garapan, dan keseimbangan alam terganggu akibat adanya polusi hasil industri2 yang ada.

    Kesenjangan ini tidak hanya terjadi di negara berkembang. DI Italia juga lho, Italia bagian utara cenderung lebih maju ketimbang bagian selatan. Sesuai di buku "Making Democracy Works" karangan Robert Putnam, di Italia bagian selatan pengaruh mafia masih cukup terasa, sehingga mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi. Di sana, mafia bisa dibilang masih punya "kekuasaan" atas keputusan pemerintah.

    BalasHapus
  2. Sangat Baik penjelasannya dan membantu :-)

    BalasHapus