Rabu, 04 Februari 2009

Konklusi: Regionalisme Baru


Tahun 1984, George Orwell menggambarkan dunia terbagi dalam tiga kekuatan besar yang saling berebut kekuatan yaitu Eastasia, Oceania dan Eurasia. Saat itu perang tiada henti berkecamuk dan dua kekuatan besar memperebutkan kekuatan yang ketiga. Konflik ini hanya membawa kerugian bagi satu pihak dan kemenangan pihak lainnya. Dalam perpektif neo-realis, regionalisme menyederhanakan dan mempertajam konflik yang terjadi dengan mengombinasikan negara-negara kunci dengan kelompok yang lebih atau kurang solid di bawah kepemimpinan negara adidaya di tiap kawasannya. Lantas, tiap kekuatan regional mengusahakan kesejahteraannya dan memperluas teritorinya, risiko perang ekonomi meningkat, karena dalam permainan zero-sum, tiap kekuatan regional menghitung bahwa konflik lebih memberi keuntungan daripada kerjasama. Dan bahkan skenario yang lebih buruk telah dikembangkan oleh Samuel Huntington. Ia melihat di masa depan, dunia politik akan ditentukan oleh perbenturan peradaban –Kristiani, Konfusianisme dan Islam-. Dalam area geografis Orwell, ini berarti peradaban Kristen Eropa dan Amerika membentuk Oceania, melawan peradaban Asia Tengah dan Asia Timur.  Perbenturan ini bukan tidak mungkin berujung pada pertarungan suci antara Kristen dan Islam.

Saat prediksi menegnai masa depan pola dunia baru berkembang, masalah-masalah praktis berkembang, seperti model ideologi atau ekonomi apa yang akan ditetapkan sebagai acuan dunia. Sebagian besar bersolusi bahwa kerangka institusional kapitalisme pasar bebas dan demokrasi liberal adalah jawabannya. Hal ini seolah menggambarkan, peradaban Barat lah yang seharusnya diadopsi, dan yang lain ditakdirkan untuk terabaikan.

 Institusionalis liberal berpendapat dengan mengutamakan ekonomi sebagai faktor pemersatu negara-negara, akan timbul interdependensi, yang akan membuat negara-negara bekerjasama ketimbang berperang. Asumsi ini ditopang oleh asumsi lain bahwa dmeokrasi adalah ideologi yang sifatnya bukan sebagai lawan, melainkan saling dukung dan kerjasama; dengan begitu negara-negara akan cenderung tidak berperang. Asumsi positive-sume game ini dilawan oleh penganut teori zero-sum game.

Polarisasi pandangan mengenai masa depan dunia membawa efek bagi perubahan ekonomi politik global. Hal ini terjadi antara tahun 1971 dan 1991. Hal ini diawali dengan kolapsnya sistem Bretton Woods[1], yang membuat dipertanyakannya kehegomian AS. Hal ini jugalah yang memicu timbulnya regionalisme baru dan berakhirnya era proteksionisme nasional dan perseteruan sistem sosio-ekonomik. Kesatuan politik global dirombak untuk pertama kalinya sejak tahun 1914.

Munculnya regionalisme paska menurunnya kapasitas AS seolah-olah kontradiktif dengan adanya globalisasi. Padahal proyek regionalisme ini berbeda dengan apa yang disebut globalisasi. Dalam regionalisme, kepentingan, pengeluaran dan keuntungan jadi pertimbangan aktor; sehingga menjadikan negara menjadi aktor kunci dalam sistem politik global. Fenomena ini terkonstitusi dari dua hal yaitu interaksi sosial di masa lalu dan pola interaksi sosial yang secara alami muncul diakibatkan oleh fenomena lain. Menjadikan globalisasi dan regionalisme bukan smeata-mata proyek negara yang bersangkutan, tapi juga melibatkan banyak pihak termasuk aktor non-negara. Sehingga segala hal yang terjadi di dalamnya adalah kalkulasi dari aksi agen-agen yang terlibat di dalamnya.

Dalam praktiknya, regionalisme berjalan berseberangan dengan globalisasi. Dunia malah sekarang terbagi dalam tiga pusat –Amerika, Uni Eropa dan Asia Timur-. Bekas penguasa salah satu pusat, Uni Soviet sudah terdisintegrasi memicu timbulnya tiga pusat lain dan munculnya dunia ekonomi kapital baru.

 


KESAMAAN FITUR PROYEK REGIONALIS

 

Salah satu keputusan mengejutkan dari proyek regionalis adalah komitmen untuk menjalankan regionalisme terbuka. Regionalisme terbuka maksudnya kebijakan dijalankan dengan menghilangkan segala hambatan dalam berdagang yang ada di kawasan, dan di saat yang sama tidak melakukan apa-apa untuk menaikkan batas tarif eksternal bagi dunia. Proyek regionalis awalnya ditakutkan akan menjadi eksklusif dan proteksionis. Dan meskipun argumen proteksionis semakin menguat di tahun 1970 dan 1980-an, bahasannya berbeda. Kajian perdebatan masih sama, namun tidak lagi memperdebatkan antara perdagangan bebas dan proteksi tapi sudah memeprdebatkan perdagangan bebas dan strategi perdagangan.

Salah satu keuntungan regionalisme adalah kerjasama regional menguat dan memungkinkan terbentuknya perusahaan regional. Di sisi lain masih timbul perdebatan mengenai model kapitalisme mana yang secara spesifik digunakan. Namun hal ini terjawab sendirinya dengan hegemoni AS, membuat model Anglo-Amerika secara otomatis diterapkan.

Faktor kesamaan dari proyek regionalis adalah adanya diskusi dan negosiasi dalam pembuatan kebijakan oleh para elit negara pusat. Tujuannya juga jelas yaitu mempertahankan kerjasama internasional dan negara-negara pusat secara aktif berperan dalam G7, IMF, Bank Dunia dan WTO. Jadi jelas sudah bahwa regionalisme tidak dimaksudkan sebagai rival globalisasi melainkan sistem pendukung bagi sistem internasional.

 

KEBERAGAMAN PROYEK REGIONALIS

 

Keberagaman struktur sejarah menentukan sekali apa yang terjadi pada dunia di masa depan. Kemunculan Amerika Utara sebagai proyek regionalis telah menjadi satu-satunya perkembangan yang paling signifikan dalam perdebatan emngenai regionalisme. Apalagi setelah peneybaran Doktrin Monroe menjadikan kekukuhan AS sebagai hegemon tunggal. Hal ini menjadikan AS sebagai oposisi negara-negara Amerika Latin dan Karibia yang identitas nasional dan ideologinya berbeda.

Hegemoni AS menandai juga timbulnya multirateralisme dan pengukuhan nilai dollar. Rencana ini diperkuat dengan terbentuknya NAFTA dan rencana ekspansi ke Amerika Latin dan Karibia. Rencana inilah yang jadi proyek regionalis Amerika, merekonstruksi Amerika Latin dan Karibia sekaligus mengeorganisir oposisi-oposisinya

Alasan mengenai berubahnya arah kebijakan AS mengenai regionalsime adalah kolepsnya lawan idoelogis Uni Soviet menyebabkan bekas negara-negara satelit Uni Soviet di Amerika Latin bernasib tidak jelas. Dengan berbekal prospek ekonomi menjanjikan, AS memasuki dan mempengaruhi negara-negara Amerika Latin sehingga mereka dalam genggaman AS dan mengabaikan ideologi radikal mereka. Alasan kedua adalah karena menurunnya kapabilitas AS sebagai hegemon dan ancaman timbulnya regionalis baru di Jepang. Ikatan yang terbentuk antara AS-Meksiko menunjukkan tingkat interdependensi antar kedua negara tersebut.

Sedangkan proyek regionalis Uni Eropa sama sekali berbeda. Setelah 1985, Eropa mengalami masa-masa penting. Single European Act tahun 1986 juga berarti krusial. Pengesahan Single Market tahun 1992 yang dipicu penandatanganan Perjanjian Uni Eropa di Maastricht tahun 1991 juga menjadi titik balik bagi integrasi Eropa. Eropa muncul sebagai kekuatan regionalis ebrsatu, di mana kekuatan negara-negaranya relatif sama.

Meskipun telah sejalan pada langkah awalnya, tetap terjadi perdebatan mengenai masa depan Uni Eropa; apakah Eropa harus mengadopsi strategi kebijakan perdagangan bebas atau tidak. Pandangan Perancis dan Inggris tidak seragam, Peracis ingin menyetujui Perjanjian Maastricht (1993), sedangkan Inggris tidak. Ketidak mauan Jerman mempersatukan diri juga menjadi kendala. Karena dalam titik ini, bergabungnya Jerman adalah poin kritikal bagi regionalisasi Eropa. Terbelahnya Jerman Barat dan Timur juga merupakan produk Perang Dingin. Dalam kubu internal Jerman muncul godaan untuk menyetujui regionalisasi Eropa atau ekspansi ke Timur. Ketidakmauan Jerman ini akan diuji ke depannya. Tapi secara keseluruhan munculnya Eropa sebagai kekuatan regionalis bersatu tidak dapat dipungkiri lagi.

Proyek regionalis ketiga yang paling tidak terkondisikan dan berkembang paling lambat terjadi di Asia Timur. Jika di Eropa tidak mungkin terjadi kekuatan hegemon regional tunggal karena kapasitas negara-negara yang hampir sama, di Asia terdapat potensial hegemon yaitu Cina dan Jepang. Hambatan regionalisasi adalah perbedaan ideologi masing-masing negara, kelemahan pembuatan keputusan oleh Jepang dan ketidakmauan Jepang untuk bergabung secara resmi dalam regionalisme.

Jepang tertarik mendekati Malaysia yang notabene adalah negara baru merdeka dari kolonialisasi Inggris, sehingga Malaysia lebih aktif ke East Asia Economic Caucus (EAEC) daripada ke Asia Pasific Economic Co-operation (APEC) bentukan Amerika. Usaha Jepang ini dilihat sebagai usaha unilateralisasi.

 

PUSAT DAN PINGGIRAN

 

Seperti yang sudah diindikasikan, regionalisme adalah proses memperdalam inetgrasi pada sektor ekonomi regional tertentu. Pengukuran inetgrasi dapat dilakukan dengan apa saja, terutama dengan arus dagang, investasi, bantuan dan masyarakat negara yang terlibat. Regionalisasi dapat menciptakan penyatuan budaya dan politik tertentu (speeti prediksi neo-fungsionalis Eropa). Dan tentunya regionalisasi, seperti globalisasi memiliki efek sampingnya, yaitu mengatasi kesenjangan di kawasan regional karena tidak semua negara dalam satu kawasan berkapasitas sama.

Regionalisasi tidak bisa menghindarkan adanya negara pusat sebagai yang paling makmur dan negara pinggiran sebagai yang kurang makmur. Hubungan asimetris ini terjadi antara AS-Meksiko, Jepang-Laos, dan lain-lain. Justru tidak ada bukti bahwa regionalisasi mendekatkan negara-negara, sebaliknya redistribusi antar negara tetap tidak seimbang karena tidak  terorganisirnya regionalisasi di suatu kawasan. Bahkan NAFTA dan APEC tidak memiliki mekanisme institusional untuk redistribusi yang baik.

Di Eropa kesenjangan terjadi antara negara Eropa Barat dan Timur. Negara terkaya seperti Jerman, Perancis dan negara Benelux seperti menarik garis dengan negara-negara yang kurang dibanding mereka. Proyek Uni Eropa untuk menetapkan mata uang tunggal di Eropa dianggap sulit dan ancaman bagi kesejahteraan negara-negara Eropa Timur.

Fenomena keseluruhan mengenai negara pusat dan pinggiran yang terjadi adalah negara pusat menyerap kapabilitas negara pinggiran dan semakin memakmurkan negara pusat. dan negara pusat yang menyediakan bantuan bagi negara pinggir justru semakin mempertegas superioritas negara pusat.

 

HEGEMONI DAN TATA DUNIA

 

Perang Dingin membuat pola dunia yang terjadi setelah itu tidak sederhana. Setelah tahun 1940, 1950, dan 1960 terbukti AS bukan satu-satunya kekuatan hegemon di dunia. Kolapsnya komunisme Uni Soviet membuat negara-negara dunia ketiga ‘terpaksa’ berkecimpung dalam putaran ideologi AS. Naum sayang, AS tidak dapat mengatasi perannya sebagai hegemon tunggal.

Kapitalisme memenangkan pertempuran dan oposisi lain tumbang. Peraturan dunia baru didasarkan pada kebijakan kapitalisme pasar bebas dan demokrasi liberal yang memberi kesempatan sebesar-besarnya bagi negara yang getol mencari kesejahteraan. Hal ini seakan memberi AS legitimasi untuk memimpin dunia dan bertindak di atas negara lain. inilah yang merisaukan negara-negara di mana legitimasi pemerintahnya belum kuat. Ditakutkan AS akan muncul dalam tiap konflik negara, bertindak sebagai polisi dunia dan membuat perubahan radikal dalam peradaban dunia.

Regionalisme adalah respon dari situasi merisaukan tersebut. Dengan adanya kekuatan hegemon di tiap kawasan membuat proses legitimasisasi tidak dapat dilakukan sepihak, meskipun sektor ekonomi tetap dikuasai AS, Uni Eropa dan Jepang pada masing-masing kawasan.

Tujuan awal dari proyek regionalis sebenarnya bukanlah yang sedang terjadi. AS dan Jepang salah mengartikan regionalisme sebagai superioritas hegemon tunggal dalam sebuah kawasan. Model Eropa adalah yang sudah mendekati benar, meskipun kawasan regional Eropa mengeset identitas supranasional baru dan mengeksplotasi kawasan sekitarnya seperti Afrika, Balkan dan Turki. Jalur yang sudah terpatri sulit dibelokkan ketika Perancis dan Inggris menjadi penentu keputusan dalam Uni Eropa.

Jika hegemon tunggal dan hegemon kawasan tidak mewujudkan kesejahteraan merata, lalu apa yang bisa? Terdapat dua skenario memprediksi masa depan dunia menurut Gamble dan Payne. Yang pertama adalah pandangan siklikal mengenai perkmbangan dunia yang mengalami siklus yang diulang-ulang. Karl Polanyi berasumsi bahwa ekonomi pasar bebas di abad 19 memproduksi reaksi, diikuti reaksi kolektivisme setelahnya. Kolektivitas akan Fordisme, Keynesian dan sosialisme inilah yang tidak diperhatikan Polanyi. Satu argumen mengatakan liberalisme ekonomi akan mengikis kolektivitas yang ada. Namun pandangan itu salah karena hal itu hanya akan berujung pada anarki.

Interdependensi global diciptakan agar negara berinteraksi, terikat dan berkompetisi sehat. Namun varietas faktor yang mendasari tindakan negara tidak dapat diseragamkan, menyebabkan ada negara yang inidvidualis dan kelewat ambisius saatu negara lain pasif dan adem ayem.

Segala fenomena yang muncul merujuk pada asumsi Fukuyama mengenai perbenturan peradaban. Sejarah akan mengalami babak baru dalam membentuk sejarah baru. Era baru regulasi dan pemerintahan global yang bersumber pada pandangan klasik tidak mempan mengatasi gejolak anarki di di dunia. Dan siklus lama akan anarki antar negara akan terulang. Namun kali ini, aktornya berbeda dan lebih terintegrasi.

Kebutuhan akan adanya bentuk pemerintah politik-ekonomi baru meningkat, kalau mau menghindari anarki. Tetap saja keputusan yang diambil harus berdasar negosiasi dan pengambilan keputusan bersama. Perubahan yang agak radikal mungkin terjadi sehubungan dengan asumsi Huntington bahwa masa depan politik dunia di masa datang tidak lagi berupa ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban.

Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoni/arogansi Barat, in-toleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1) perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. 2) dunia sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3) proses modernisasi ekonomi dan perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradaban-peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6) regionalisme ekonomi semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban.

Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kita seakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan dan Kitab Suci.

Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-antagonisme serta asosiasi-asosiasi antarnegara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban mereka masing-masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola perkembangan politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang masuk dalam agenda internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi bersifat multipolar dan multisivilisasional.

Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban" sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.

Teori Huntington berusaha menentang skenario "akhir sejarah" paska-perang dunia mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi. Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya sendiri.

Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negara-negara seperti Turki dan Italia.

 

KONKLUSI

 

Bersamaan dengan munculnya globalisasi sebagai fenomena yang melanda dunia, maka semangat regionalisasi ekonomi juga tumbuh dengan mengesankan. Sebagai contoh, dibelahan Amerika Utara muncul North America Free Trade (NAFTA), di Eropa muncul dengan European Union, di Asia Tenggara muncul ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan terakhir adalah Asia Pasific Ekonomic Cooperation (APEC).

Sementara itu, diantara negara-negara ASEAN tumbuh pesat kerjasama ekonomi regional seperti segitiga pertumbuhan antara Singapura, Johor dan Riau (Sijori), kawasan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Malaysia dan Thailand (IMTGT) yang meliputi wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat (Indonesia) dengan bagian Penang (Malaysia) dan Potani (Thailand). Di kawasan timur Indonesia kerja sama ekonomi regional terjadi antara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philipina. Tujuan utama pertumbuhan regional tersebut adalah untuk memperkuat jaringan ekonomi bisnis, politik dan kepentingan regional.

Ada dua pengertian regionalisme ini yaitu artian yang positif dan artian negatif. Dalam hubungannya dengan ketahanan nasional, akan dipusatkan kepada artian yang negatif, yaitu regionalisme sebagai istilah lain dari separatisme. Regionalisme sebagai separatisme merupakan negasi dan antitesis terhadap nation-state serta pemerintah sendiri.

 Ancaman regionalisme yang negatif ini terhadap suatu negara nasional memang tidak dapat dipandang ringan, baik pada suatu negara nasional baru maupun pada negara nasional yang sudah berusia tua. Pada negara nasional baru, regionalisme dapat merupakan sindrom politik yang timbul oleh karena masih lemahnya instusi nasional, berhadapan dengan demikian tingginya harapan terhadap negara nasional itu. Pada negara nasional yang berusia tua, regianalisme yang muncul mungkin mempunyai akar yang lebih dalam, seperti tidak tertampungnya nilai-nilai kultur politik yang dominan di negara nasional tersebut.

Rasanya tidak keliru jika dinyatakan bahwa baik pada negara nasional baru maupun negara nasional yang sudah lama, regionalisme itu sesungguhnya adalah manifestasi dari integrasi nasional yang terhenti, terganggu, belum selesai atau justru mangalami retrograsi. Sesungguhnya ada unsur nasionalisme di dalam regionalisme, yaitu kehendak untuk membangun masa depan bersama dari penduduk yang mendiami wilayah tertentu, yang secara ekonomi, politik dan kultural merasa merupakan suatu komunitas yang mempunyai rasa solidaritas yang erat. Masalahnya adalah bibit nasionalisme itu belum atau tidak lagi diletakkan dalam konteks nation-state yang lebih luas, walaupun wilayah tersebut secara yuridis konstitusional merupakan wilayah dari nation-state tersebut. Dengan demikian, dalam jangka pendek regionalisme akan mewujudkan konflik penguasaan teritorial, dalam jangka panjang merupakan konflik ideologi, ekonomi, politik, dan kultur.

Menyadari akan semakin ”halusnya” tantangan yang dihadapi dalam bentuk empat kekuatan perubahan, yaitu demokratisasi, globalisasi, radikalisme, serta ambisi negara-negara besar, yang telah membuat garis pertahanan menjadi berciri maya, maka bentuk sistem penangkalan yang harus kita gelar juga berciri sama, yaitu berupa ketahanan nasional dan ketahanan regional. Ketahanan nasional terus dibina agar semakin mantap dengan tujuan akan melahirkan stabilitas dalam negeri; sedangkan ketahanan regional dihajatkan sebagai sarana menciptakan stabilitas regional. Seperti halnya dengan masalah stabilitas, maka ketahanan nasional tiap-tiap negara anggota kawasan atau sub kawasan merupakan komponen utama sesama negara kawasan agar dapat saling membantu meningkatkan ketahanan masing-masing negara.

Dengan demikian, sesungguhnya di dalam dunia yang seakan-akan tanpa batas ini, nasionalisme, regionalisme dan ketahanan nasional telah teruntai menajadi satu rangkaian, yang secara subjektif diabadikan kepada kepentingan nasional, khusus kepentingan pembangunan.

 

Referensi

Gamble, Andrew&Payne, Anthony, Conclusion: The New Regionalism.

Huntington, Samuel P., Penerjemah: M. Sadat Ismail, Cet. 8, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order), 2004, Yogyakarta: Qalam..

 

  



[1] Sistem Bretton Woods adalah suatu sistem moneter internasional di mana AS sebagai pemimpinnya menjamin perekonomian negara-negara di bawahnya; dengan timpal balik negara-negara di bawahnya menuruti kemauan AS dan . AS menjamin perekonomian sistem internasional, dollar Amerika dipakai di mana-mana, otomatis AS jadi hegemon tunggal. Di tahun 1960-an Jepang dan Jerman jadi kekuatan ekonomi baru, dan saat itu neraca surplus AS sangat sedikit. Di samping itu AS aktif berperang dalam Perang Vietnam, membuat presiden AS saat itu berinisiatif  untuk keluar dari sistem Breton Woods.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar