Rabu, 04 Februari 2009

Di Balik Batalnya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura


Perjanjian kerjasama ekstradisi, DCA (Defence Cooperation Agreement) dan MTA (Military Training Area) merupakan salah satu geostrategi dan geopolitik Singapura. Geopolitik  adalah kajian yang menganalisis geografi, sejarah, serta sains sosial, dengan rujukan kepada politik antarabangsa, yang menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan geomorfologi suatu negara untuk membangun dan membina negara. Sedangkan geostrategi adalah kebijakan untuk menentukan sarana-sarana untuk mencapai tujuan politik dengan memanfaatkan konstelasi geografi. Ditinjau secara geopolitik, Singapura tidak mempunyai cukup lahan untuk melakukan latihan militer. Oleh karena itulah, melalui geostrateginya Singapura membuat perjanjian pertahanan dengan Indonesia. Apabila kekuatan militer Singapura semakin kuat, dengan mudahnya Singapura mewujudkan tujuan politiknya yaitu dapat menanamkan pengaruh politik kepada negara-negara tetangga seperti yang dilakukan Amerika Serikat saat ini.

Geostrategi menjadi upaya menguasai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kelangsungan hidup bangsa. Pemerintah sebaiknya mewaspadai geostrategi Singapura mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam adalah seluruh kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh manusia. Pemerintah harus mengawasi proses penempatan lahan yang dilakukan Singapura. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh Singapura; misalnya melakukan eksploitasi SDA secara ilegal. Eksploitasi ilegal biasanya berakhir dengan kasus kerusakan lingkungan, keresahan sosial dan penurunan kuantitas SDA. Indonesia akan mengalami kerugian lebih besar bahkan mungkin akan tidak sebanding dengan pengembalian aset para koruptor. Jadi, Indonesia harus mengawasi peminjaman lahan latihan militer Singapura untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan.

Ditandatanganinya perjanjian ekstradisi pada tanggal 28 April 2007 di Istana Tampak Siring, Bali, merupakan babak baru untuk membuka hubungan antara Indonesia Singapura setelah proses panjang penuh dinamika lebih dari 30 tahun. Sebelumnya Singapura hanya mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara-negara persemakmuran Inggris dan berinteraksi dengan negara-negara sekutu. Tidak hanya itu, Singapura juga sebelumnya hanya membina hubungan secara simbolik dengan negara–negara tetangga, bukan secara substansial. Perjanjian ekstradisi Indonesia - Singapura menjadi sebuah sinyal ‘positif’ yang diberikan Singapura kepada Indonesia. Namun, melunaknya Singapura dan antusiasme Indonesia menandatangani perjanjian tersebut menjadi sebuah tanda tanya. Tidak ada satu negarapun yang ingin dirugikan dalam sebuah kesepakatan, begitupun dengan Singapura dan Indonesia yang pasti memiliki agenda masing-masing.

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu program kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itulah Indonesia begitu antusias saat Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi yang melingkupki 31 jenis kejahatan; antara lain terorisme, korupsi, penyuapan, pemalsuan, uang kejahatan perbankan, pelanggaran hukum perusahaan dan kepailitan. Namun, masih ada kemungkinan di masa depan ditambahkan tindak pidana lain khususnya jenis-jenis kejahatan baru. Melalui perjanjian ekstradisi, pemerintah berharap para penegak hukum baik Indonesia maupun Singapura mejadi lebih luas dalam melacak dan mengejar para tersangka khususnya tersangka kasus korupsi serta memulangkan aset-aset koruptor sejumlah 1300 triliun rupiah.

Mengenai perjanjian ekstradisi ini, ada beberapa kalangan yang pesimis terhadap dipulangkannya aset-aset negara tersebut. Mereka menganggap perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tidak akan menjamin pengembalian atau pemulihan aset Indonesia jika Singapura belum menandatangani konvensi PBB tahun 2003 tentang Antikorupsi yang menyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian aset. Tapi nyatanya toh pemerintah mengabaikan pesimisme yang ada dan justru menandatangani DCA (Defence Cooperation Agreement) dan MTA (Military Training Area) pada 28 April 2007 sebagai timbal balik terhadap penandatanganan perjanjian ekstradisi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah Singapura diperbolehkan melakukan latihan militer dan dapat melaksanakan latihan bersama-sama dengan negara lain di daerah Indonesia. Singapura merupakan negara kecil yang memiliki kekuatan tempur yang besar. Ketersediaan lahan parkir seluruh armada tempur serta lahan untuk latihan militer merupakan hal yang mutlak dilakukan.

Termasuk di antara kalangan yang pesimis terhadap penandatanganan perjanjian baik eekstradisi, DCA maupun MTA ini adalah kalangan sesepuh TNI Angkatan Darat (AD). Bagi mereka, DCA mencederai harga diri dan kedaulatan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, mereka menduga bahwa pemerintah AS turut menaruh kepentingan di balik DCA ini.

Benny Mandalika yang pernah menjadi atase militer Republik Indonesia di Amerika Serikat menduga, upaya ratifikasi DCA ke DPR merupakan titipan pemerintah AS. Ini terlihat dari salah satu pasal DCA yang berbunyi: "Singapura dalam melakukan latihan militer dapat mengundang pihak ketiga." Menurut Benny, analisis itu dilatarbelakangi pengalamannya sendiri. "Saya juga pernah diminta AS untuk mengizinkan salah satu pulau di Kepulauan Riau untuk dijadikan pangkalan militer AS," ujarnya.

Benny menegaskan, saat itu dirinya tegas menolak permintaan AS dengan alasan politik Indonesia bebas aktif. "Jika kita memberikan pulau itu dijadikan pangkalan militer AS, maka dunia akan melihat bahwa politik bebas aktif Indonesia tidak memiliki makna," ujar Benny yang lama menapaki karier di dunia intelijen.

Sedangkan Letjen (Purn) Kiki Syahnakrie mengatakan, DCA beralasan ditolak demi kepentingan nasional maupun solidaritas ASEAN. Namun Kiki mengakui, Indonesia tetap memerlukan kerja sama pertahanan di kawasan mengingat ancaman terhadap stabilitas kawasan begitu nyata, terlebih lagi ancaman terorisme.

Terlepas dari konflik pendapat dalam negeri mengenai penandatanganan ekstradisi, keterlibatan Singapura sedniri dalam perjanjian ekstradisi bisa jadi menarik, karena disinyalir akibat adanya perjanjian lanjutan DCA dan MTA ini. Sebab lain yang relevan menurut saya mengenai hal ini adalah adanya ketakutan Singapura akan ancaman embargo pasir dan rencana pemerintah Indonesia untuk membeli kembali saham PT. Indosat Tbk dari Singapore Technologies Telemedia yang mulai dilontarkan sejak awal 2007.

Setelah melalui perdebatan panjang yang cukup melelahkan di media massa, Komisi I DPR RI dalam rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (25 Juni) akhirnya menolak meratifikasi perjanjian DCA dan MTA. Itu artinya, perjanjian DCA yang ditandatangani di Bali pada 27 Mei lalu dimentahkan kalangan DPR. Dengan penolakan itu, implementasi isi perjanjian jelas tidak dapat diloaksanakan. Dalam sistem ketatanegaraan kita, setiap perjanjian internasional harus melibatkan DPR karena amanat Pasal 11 UUD 1945 menegaskan bahwa presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus dengan persetujuan DPR. Selain UUD 1945, ada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang mengatur ketentuan ratifikasi perjanjian internasional lewat pintu DPR.

Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengesahan perjanjian dengan negara lain harus melalui undang-undang. Selanjutnya, Pasal 10 merinci, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; serta pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Dengan dua dasar hukum itu, putusan untuk mengesahkan perjanjian tersebut ada di tangan DPR. DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk menolak sebuah perjanjian jika melanggar prinsip kepentingan nasional, atau menerima apabila hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu menguntungkan. Jadi, untuk saat ini bola ada di tangan DPR. Boleh saja Menteri Luar Negeri menyebutkan tidak semua perjanjian internasional harus disahkan lewat undang-undang karena Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 memberi kemungkinan pengesahan perjanjian internasional lewat keputusan presiden. Tapi, untuk perjanjian DCA, tampaknya Pasal 9 ayat 2 tidak bisa dipakai.

Perjanjian internasional sekelas DCA, pengesahannya tetap harus lewat undang-undang. Sebab, butir-butir perjanjian DCA, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, adalah perjanjian internasional yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan negara yang pasti akan membebani keuangan negara. Tidak bisa disahkan lewat keputusan presiden. Wacana pengesahan lewat keppres bukan solusi untuk memecah kebuntuan ratifikasi, justru membuat pemerintah dan DPR akan berseteru lama. Kalau sampai disahkan lewat keppres, DPR tak hanya tidak dilibatkan untuk kedua kalinya, tapi peran-peran konstitusionalnya juga dilecehkan pemerintah.

Perkara persetujuan DPR dan masyarakat tentu vital di sini karena persoalan dari menyangkut ekstradisi, DCA dan MTA bermasalah pada area prosedur dan substansi. Dari awal, beberapa anggota Komisi I DPR menilai perjanjian DCA cacat prosedur. Sejak perumusan perjanjian, pemerintah terkesan berjalan sendiri. DPR tidak dilibatkan untuk memberikan masukan terkait dengan hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu. Seolah-olah peran DPR hanya penting pada wilayah ratifikasi. Maka DPR kemudian kecewa karena merasa tidak diajak memberikan pandangan tentang perjanjian tersebut.

Mengesampingkan fakta bahwa Indonesia ‘akan’ memperoleh keuntungan berupa pengembalian aset-aset Negara, penangkapan koruptor tanpa prosedur yang berbelit-belit serta peningkatan ketrampilan personel TNI dalam menggunakan peralatan tempur yang canggih milik Singapura; kerugian bagi Indonesia lebih besar, yaitu Singapura akan mengetahui kelebihan dan kekurangan kondisi geografis daerah latihan TNI. Keuntungan bagi Singapura adalah dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan di bidang militer. Namun ini hanyalah keuntungan dan kerugian sejauh mata memmandang, dan tentu masih banyak lagi aspek-aspek lain yang luput dari perhitungan.

Jadi menurut saya perjanjian ekstradisi dan segala tetek bengeknya patut ditolak. Isi perjanjian itu sebagian besar hanya menguntungkan militer Singapura. Dengan masa berlaku perjanjian 25 tahun, Indonesia bisa-bisa tidak mendapatkan keuntungan maksimal dari perjanjian tersebut. TNI hanya punya kesempatan menggunakan peralatan militer Singapura yang termasuk canggih di Asia. Seolah-olah hanya karena kepentingan profesionalisme prajurit TNI menggunakan peralatan tempur, wilayah Indonesia harus ‘dijual’ dengan harga yang sangat murah.

Perjanjian yang hampir dilakukan adalah perjanjian yang menggadaikan kedaulatan negara. Sebuah pemerintah haruslah selalu menjaga kedaulatan wilayahnya. Konstitusi memberikan hak seluas-luasnya kepada pemerintah untuk membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Tapi dengan satu syarat tidak merugikan kepentingan nasional dan kedaulatan atas wilayah. Itu sebabnya, menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang isi perjanjian tersebut sebelum draf RUU-nya diserahkan kepada DPR untuk dibahas, karena saya yakin DPR dan masyarakat akan tetap menolak draf Rancangan Undang-Undang DCA kalau isi perjanjiannya masih terlampau menguntungkan Singapura.

Dalam berhgubungan dengan negara lain, memang tidak jarang kepentingan nasional antara dua pihak saling berbenturan karena masing-masing dapat berbeda kepentingan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan dapat menimbulkan konflik. Menghindari konflik dan kesalahpahaman, dibutuhkan keterbukaan dan komitmen antara kedua negara melalui perjanjian seperti yang dilakukan Singapura dan Indonesia melalui perjanjian ekstradisi dan pertahanan. Peminjaman lahan untuk latihan militer sebagai salah satu isi perjanjian hendaknya tidak mengancam keamanan nasional negara peminjam lahan. Keamanan nasional adalah kondisi dimana terjaga dan terlindunginya kemerdekaan dan kedaulatan negara serta terjaganya integrasi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Apabila mengancam keamanan nasional, spektrum konflik antar negara akan semakin meningkat bahkan dapat menimbulkan perang terbuka.

Apapun perbedaan kepentingan kedua buah bangsa, tidak menghalangi masing-masingnya untuk berusaha melakukan yang terbaik bagi bangsanya. Beberapa tahun belakangan ini, dapat dilihat Singapura memang telah menjadi negara kecil yang kokoh, meskipun diapit oleh negara-negara yang lebih besar. Singapura telah sukses menjalankan ‘Poison Shrimp Strategy’ yang mengibaratkan dirinya adalah udang yang kecil, tapi dengan racun yang tepat guna dapat membuat dirinya diperhitungkan di kawasan. Memang Indonesia dan negara di sekitarnyalah yang harus hati-hati. Jangan sampai Singapura menjadi seperti Israel, yang lewat sarana perang (Perang Enam hari), dapat memperluas wilayah kecilnya sampai tiga kali lipat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar