Rabu, 04 Februari 2009

Pengaruh Pasang Surut Kekuatan Internal dan Eksternal terhadap Regionalisme di Asia


Natasha K. Ardiani (070610216)

Airlangga University

 

Asia, especially Southeast Asia, has been America’s first priority also ‘second front’ since the tragedy of 9/11. America’s preemptive role in practicing their ‘War against Terrorism’ foreign policy effects Asia pretty deeply. Southeast Asian countries, on the other hand, seem withdrawing themselves from America because of the prejudices and interventions; and paying more attention to China. This turnover seems quite reasonable having America’s been put many pressures about security in Asia and also remembering the failure of IMF policy’s implementation. The ‘big’ state at the first place seems ignoring the existence of East Asian countries like China, Japan and so on, that in fact grow rapidly because if the financial crisis in 1997 and who began to take roles in the neighbor region.

 

 

KEY WORDS:  Southeast Asia, America, East Asia, region, power.

 

Perkembangan selama sepuluh tahun belakangan ini menunjukkan bahwa dinamika hubungan antar kekuatan-kekuatan besar, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan RRC (Republik Rakyat Cina)  di Asia Tenggara, ditandai oleh pola-pola hubungan kompetitif dan kooperatif sekaligus. Proses transisi dari unipolar moment pasca Perang Dingin merupakan alasan utama dari berhimpitnya dua karakter kontradiktif ini. Struktur politik internasional yang senantiasa mengalami penyesuaian-penyesuaian struktural global (global structural adjustments). Penyesuaian-penyesuaian ini merupakan bagian dari sebuah proses atau siklus rise and fall of great powers, yang terjadi akibat adanya perubahan atau pergeseran dalam relative distribution of power di antara kekuatan-kekuatan besar. Selama berlangsungnya proses pergeseran itu, penyesuaian struktur global dapat dikatakan berada dalam masa transisi. Untuk saat ini, masa transisi ini telah ditandai oleh terjadinya sebuah power shift (pergeseran kekuatan) yang dapat melahirkan implikasi-implikasi signifikan dan fundamental bagi konstelasi dan percaturan politik global di masa mendatang. Pertanyaannya adalah bagaimanakah rupa transisi dan tarik ulur kekuasaan ini di Asia Tenggara? Siapa sajakah aktor yang signifikan berperan di dalamnya dan apa saja yang dilakukan oleh aktor-aktor itu?

Di awal abad ke-21 ini, proses pergeseran kekuatan global ini ditandai oleh lima kecenderungan utama, yakni (1) berlanjutnya hegemoni dan keutamaan (primacy) AS, (2) fenomena kebangkitan Cina, (3) revitalisasi peran keamanan Jepang, (4) tampilnya India sebagai aktor global potensial, dan (5) kecenderungan berlanjutnya dominasi peradaban Barat. Dari kelima kecenderungan itu, kebangkitan RRC merupakan fenomena yang paling penting sebagai key driver bagi proses power shift tersebut. Seperti dikatakan oleh Shambaugh, "Struktur kekuatan dan parameter interaksi yang telah menjadi ciri hubungan internasional di kawasan Asia selama setengah abad lalu sekarang ini sedang dipengaruhi secara fundamental, antara lain, oleh meningkatnya kekuatan ekonomi, militer, dan pengaruh politik Cina, serta posisi diplomatik dan keterlibatan negara itu dalam institusi multilateral regional."

Hubungan negara-negara Asia Tenggara dan Cina dimulai sejak awal 1990an didasari kebutuhan bersama dalam ekonomi dan militer yang menjadi driving force hubungan antara mereka. Cina bahkan jadi partner dialog tetap pertama ARF (ASEAN Regional Forum)[1]. Melalui ARF, negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nation) berupaya untuk mengelola dan mempengaruhi regional order dalam beberapa cara, salah satunya yaitu dengan melibatkan RRC dalam sistem tata keamanan regional untuk mengurangi ancaman terhadap stabilitas kawasan akibat perkembangan ekonomi dan perkembangan militernya yang begitu pesat (www.aseansec.org, 2008).

Pada krisis finansial yang melanda Asia pada 1997, Cina memutuskan untuk me-revalue mata uangnya demi menstabilkan tata ekonomi regional. Segera setelah itu Cina memantapkan eksistensinya dengan menggabungkan diri dalam ASEAN+3 bersama Jepang dan Korea Selatan; suatu tahap yang disebut Ren Xiao[2] sebagai awal mula kerjasama Asia Timur berjalan.

Belum lama ini untuk pertama kalinya, Cina menyebut AS sebagai ancaman di Asia Pasifik di Kertas Putih Pertahanannya (China’s White Paper National Defense Strategy). Gelagat baru ini diasumsikan berbagai pihak sebagai awal baru ketegangan AS-Cina di Asia Pasifik. Oleh karena itu pula Cina menjadi lebih agresif lagi melalui ASEAN, dengan menawarkan FTA (Free Trade Area) dengan ASEAN. Di saat bersamaan, seperti diungkapkan PM Singapura Goh Chok Tong, sedang dipelajari usulan Korea Selatan tentang kemungkinan memperluas KTT ASEAN+3 menjadi sebuah East Asian Summit, yang tak mustahil akan menyertakan Korea Utara juga. Melalui ASEAN Regional Forum (ARF), Cina mau membahas secara multilateral konflik di Laut Cina Selatan melalui sebuah code of conduct. Dalam KTT di Singapura, Cina melibatkan diri dalam sejumlah proyek dan program, baik melalui proyek Asian IT Belt maupun lewat ASEAN-China Cooperation Fund. Mereka pun akan aktif menyalurkan dana pembanguna rel kereta api dari Singapura ke Kunming. Khusus dengan Indonesia, Cina menawarkan sejumlah bantuan, termasuk di antaranya proyek pembangunan rel kereta api di Pulau Kalimantan. Dalam pertemuan bilateral, PM Cina Zhu Rongji menyatakan dukungan 
   kepada Presiden Abdurrahman Wahid mengenai rencana pembentukan Forum Pasifik Barat. Begitu pula kepada negara-negara ASEAN lainnya, Cina akan mengulurkan tangan kapan pun diminta, dalam bentuk apapun. “Mengembangkan persahabatan jangka panjang dan stabil serta hubungan bertetangga baik dan kerja sama dengan ASEAN dan negara-negara ASEAN adalah kebijakan dasar negara (basic state policy) Cina,” ujar Menlu Qian Qichen.

Pola hubungan Cina–Asia Tenggara dari paradigma realis memang memiliki karakteristik unik. Di satu sisi, Cina dianggap tetap memperlihatkan pendekatan yang menjadi dalil dasar bagi paradigma realis, yaitu memperbesar unsur kekuatan (power) konvensional dengan mengembangkan kemampuan militernya berkat dukungan anggaran yang terus naik dari tahun ke tahun. Di sisi lain, rezim komunis China dalam beberapa tahun terakhir juga menerapkan suatu konsep yang diperkenalkan Joseph Nye sebagai soft power.

Tahun 1999 Cina hubungan Cina-Asia Tenggara sempat tegang akibat keputusan Cina untuk bergabung dengan WTO (World Trade Organization), karena dikhawatirkan hubungan Cina-Amerika akan semakin intens dan membahayakan bagi kawasan. Untuk menetralkan hal ini, Cina menggagas ide FTA (Free Trade Area) dengan Asia Tenggara yang ditandatangani pada tahun 2002. Isu-isu yang berkembang selanjutnya semakin mempererat hubungan Cina-Asia Tenggara seperti isu SARS, ancaman pembajakan dan perdagangan. Cina kini merupakan partner dagang bilateral terbesar kedua bagi ASEAN, dan Ren Xiao memprediksi nominal perdagangan akan mencapai U$200 milyar pada 2010. Hal ini sebenarnya dapat terjadi karena Cina dua faktor; pertama, Cina berpegang pada altruisme, yaitu sifat mementingkan kepentingan pihak lain terlebih karena kedekatan geografis karena dipercaya hal itu dapat menciptakan lingkungan yang satbil dan damai; kedua, Cina mengintensifkan kerjasama dengan Asia Tenggara untuk mempertahankan status ‘kekuatan besar’ di kawasan serta meminimalisir pengaruh Amerika.

Terlepas dari keterlibatan negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina di kawasan, Asia Tenggara tidak ingin menjadi negara satelit dengan hanya bergantung pada satu pihak saja. Oleh karena itu, mereka berusaha mengundang negara-negara lain untuk berpartisipai dan aktif dalam kawasan. Tidak heran, bila India dan Jepang muncul jadi aktor potensial.

Jepang merupakan ‘pihak yang kalah’ dalam Perang Dunia II dan India pernah kalah dari Pakistan dan dari Cina pada Konflik 1962. Kekalahan itu membuat India berwawasan sangat inward looking, bermentalitas non-alignment dan terisolasi dari dunia internasional. Beberapa dekade belakangan, barulah Jepang dan India unjuk gigi dan berlaga dalam kancah internasional. Kedua negara menyadari bahwa ketertutupan akan membawa mereka ke dalam keterbelakangan. Oleh karena itu, kedua negara mulai mencoba aktif dalam organisasi multilateral.

Dalam SCO (Shanghai Cooperation Organization), India yang masih ‘anak baru’ belum berani untuk berperan terlalu aktif, jadi ia hanya berperan jadi obsever, wakilnya pun tidak dikirim dan India juga kelihatan setengah-setengah dalam dialog strategis antara Australia, Jepang dan Amerika. Mindset India saat itu adalah bahwa berperan aktif dalam SCO dapat merenggangkan hubungan dengan Amerika Serikat. Namun ternyata hal ini tidak terbukti dengan adanya fakta bahwa perdagangan Cina-Amerika pada tahun 2003 (U$ 263 miliar) justru sepuluh kali lebih besar dari India-Amerika (U$ 29 miliar); padahal sewaktu itu Cina adalah leading member dalam SCO. Dengan timbulnya fakta ini, India dan Jepang mulai membenahi diri dan berencana untuk berperan lebih aktif.

Jepang atas nama Menteri Pertahanannya memutuskan untuk meng-upgrade Japan Defense Agency pada 9 Januari 2007 yang menekankan perluasan tugas-tugas utama angkatan bersenjatanya. Jepang juga menempatkan militernya di zona perang Afghanistan dan Iraq untuk membantu Amerika melawan terorisme. Isu-isu militer yang semua tidak terangkat jadi bahan pembicaraan, seperti tiga prinsip non-nuklir Jepang untuk tidak membuat, memiliki dan mengijinkan keberadaan senjata nuklir di Jepang. Jalur diplomasi juga dimanfaatkan Jepang untuk menarik simpati di kawasan Asia Tenggara, dengan mengutuk uji coba nuklir Korea Utara pada tanggal 9 Oktober 2006 dan memberlakukan sanksi terhadap pyongyang. Selain itu Jepang yang sudah bergabung dalam ASEAN+3 juga bergabung dalam East Asia Summit, sebuah forum tanpa Amerika serta dialog ‘two plus two’ atau Japan-US Security Consultative Committee. Sebagai negara dengan bantuan luar negeri terbesar kedua, Jepang mampu berperan aktif membantu negara-negara miskin di Asia Selatan, misalnya Jepang berjanji untuk memberi bantuak kepada Sri Lanka dalam menghentikan konflik antara pemerintah dan Tamil Eelam serta berusaha membawanya ke meja negosiasi. Jepang juga mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Nepal untuk memonitor langsung gencatan senjata antara pemerintah dan pemberontak Maois. Jepang dengan jelas menjadikan Asia Selatan sebagai sasaran empuk baginya untuk unuk gigi. Namun menurut penulis, semua hal yang dilakukan Jepang ini belumlah cukup mengingat luka yang pernah ditimbulkan Jepang pada zaman imperialisme dan Perang Dunia dulu.

Perdana Menteri Jepang Miyazawa dalam suatu kesempatan menyatakan negara-negara Asia perlu memiliki payung organisasi untuk menjamin keamanan dan peramaian kawasan. Pesan Miyazawa ini menandai peranan baru Jepang dalam bidang keamanan setelah kekuatan ekonominya menjulang tinggi tak terkejar negara lain. Namun Tokyo berhati-hati dalam mengajukan formula baru keamanan Asia seiring dengan berkurangnya pasukan AS di Asia Tenggara. Adalah terlalu tergesa-gesa kalu menyatakan Jepang menggantikan peranan AS di Asia dalam bidang keamanan. Langkah ini akan mengundang kecurigaan negara-negara Asia yang pernah dijajahnya. Inilah yang membedakan Cina dengan Jepang. Lagi pula jika Jepang memainkan peranan ini, akan sulit melancarkan hubungan dengan Asia Tenggara terutama di bidang ekonomi. Oleh sebab itu, dalam hal keamanan Jepang akan tetap mendompleng AS. Untuk menunjang langkah ini Jepang bersedia meningkatkan dana bagi pasukan AS yang berada di jepang. Tahun anggaran 1992 saja, jumlah pasokan  untuk pasukan AS mencapai U$ 4 milyarnaik menjadi U$ 7 milyar pada tahun 1995, dan diproyeksikan untuk naik terus pada tahun-tahun berikutnya. Kekuatan ekonomi Jepang memang bertumpu di luar negeri sehingga makin lama ada kesadaran keamanannya harus dijamin. Salah satu urat nadi ekonomi itu terletak di Asia Tenggara. Kalau dihitung investasi Jepang di ASEAN masih kalah dibandingkan dengan Eropa atau Amerika. Namun jalur minyak dan perdagangan tetap melalui Selat Malaka dan tentu saja Laut Cina Selatan, wilayah yang diramalkan menjadi titik perhatian baru setelah Kamboja.

India yang pernah menjalin hubungan yang kurang baik dengan Amerika pada tahun 1971, ketika pada 9 Desember Presiden Nixon menempatkan salah satu perusahaannya di Samudera Hindia sebagai peringatan pada masa perang dengan Pakistan, mampu membuat lompatan kerjasama yaitu perjanjian nuklir Amerika-India pada Maret 2007 di mana Henry J. Hyde United States – India Peaceful Atomic Energy Cooperation Act ditandatangani. Amerika juga berjanji akan membawa India menajadi salah satu ‘world power’ dengan kerjasama di bidang maritim, militer, teknologi informasi, pedagangan dan investasi, seta dalam beberapa isu internasional seperti ekstrimisme Islam hingga menaggulangi kebangkitan Cina. Perlu diingat juga bahwa India termasuk angota Six party Talks dalam pembicaaan isu nuklir Korea Utara dan pernah memainkan peran penting sebagai emdiator dalam Perang Korea antara Amerika Serikat dan Komunis Cina.

Kondisi Jepng dan India sedang sama-sama mendapatkan simpati dan perhatian dari negara-negara Asia Tenggara menimbulkan kerjasama antara keduanya. Usaha diplomasi India di Davos, Swiss, dalam Forum Ekonomi Dunia, serta kunjungan Perdana Menteri Abe ke markas NATO di Eropa pada Januari 2007, membuktikan bahwa kedua negara berjuang untuk menanamkan pengaruhnya di kancah internasional. Menurut Chietigj Bajpee[3], kedua negara masih kurang koperatif dan agrsif dalam menjalankan politik luar negerinya. India misalnya, paska Perang Dunia II mampu menjadi mediator Rusia–Jepang dalam konflik Kuril Selatan. Penulis sepakat dengan Bajpaee bahwa jika Jepang dan India bekerjasama lebih jauh lagi, keduanya akan dapat membentuk axis atau poros yang sangat potensial. Asumsi ini berlandaskan pada satu, kedua negara sama-sama konsumen energi dalam jumlah besar. India merupakan konsumen minyak etrbesar keenam dunia dan Jepang merupakan konsumen terbesar dunia ketiga serta pengimpor terbesar kedua dunia. Kedua, Jepang dan india sama-sama negara demokratis yang memiliki shared interests dan shared values. Landasan ini dapat diwujudkan dengan kerjasama lebih lanjt dalam eksplorasi energi dan efisiensinya serta kerjasama dalam meng-counter terorisme. Kedua negara yang sama-sama konsumen energi juga dapat sama-sama mengamankan akses minyak dengan bekerjasama di bidang maritim setra berusaha mendapatkan kedudukan tetap dalam Dewan Keamanan PBB.

Langkah-langkah menuju kerjsama konkrit antara India–Jepang telah dilakukan dengan adanya kunjungan Perdana Menteri India Manmohan Singh ke Jepang Desember 2006 sebagai kunjungan balasan atas kedatangan Perdana menteri Koizumi ke India pada April–Mei 2005. Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengeratkan hubungan bilateal kedua negara yang sayangnya belum terlaksana secara maksimal. Buktinya saja, investasi Jepang ke India hanya senilai U$ 2 miliar pada tahun 2006, sedangkan investasi Jepang ke Cina bernilai puluhan kali lipat yaitu U$ 57 miliar. Inilah yang jadi tantangan sekaligus dilema bagi Jepang, di satu sisi Jepang dapat memajukan langkahnya bersama-sama India, ataukah ia dapat maju sendiri di bawah bayang-bayang Cina.

Kebangkitan Cina sendiri adalah sesuatu yan tak bisa dihindari, pertumbuhannya sendiri menekanan pada kekuatan militer angkatan laut dan space based weapons. Pada tanggal 11 Januari 2007, Cina melakukan tes senjata anti satelit dan hal ini membuat Jepang dan India untuk segera berbuat hal yang sama. Air Force chief India Shashi Tyagi mengumumkan bahwa India akan mendirikan sebuah pertahanan aerospace. Untuk mendukung perkembangan militernya, Cina telah menyiapkan sejumlah dana tersendiri. Tercatat untuk tahun 2007, Cina menganggarkan sebesar 17,8 persen dari APBN-nya, dengan kata lain mencapai angka 350,92 miliar yuan, atau naik 52,99 miliar yuan dari tahun 2006. Negara besar, seperti Amerika dan Jepang menilai bahwa kenaikan anggaran itu menjadi suatu ancaman bagi keamanan dunia. Tetapi pemikiran itu dibantah oleh Cina, mereka beralasan bahwa kenaikan anggaran itu sesuai dengan jumlah luas wilayah dan penduduk Cina. Selain itu sebanyak 80% impor minyak Cina transit di Samudera Hindia dan Selat Malaka, sehingga Cina harus memastikan keamanan rute perjalanan minyaknya. Perluasan penjagaan keamanan rute impor ini juga melibatkan perang dengan Jepang. Sebagai reaksi atas kemajuan Cina, Jepang dalam kerjasamanya dengan Amerika Serikat, Japan-US Security Consultative Committee, mengagendakan resolusi damai bagi konflik Taiwan; selain itu Jepang menganggap Cina sebagai ancaman dan ini dapat dilihat dalam National Defense Program Outline tahun 2004.

Kawasan Asia, baik Asia Tenggara maupun Asia Timur dihadapkan pada persoalan klasik dalam hubungan internasional, yakni bagaimana merespon dan mengelola kelahiran kekuatan baru. Dan, sebagai superpower tunggal, AS merupakan negara yang paling terganggu oleh persoalan klasik ini. Rasa terganggu ini disebabkan oleh karena kepentingan strategis utama Washington di Asia Timur –sekarang dan dimasa mendatang-akan tetap terfokus pada pemeliharaan dominasi dan keutamaan AS dalam konstelasi politik global.

Namun, kebangkitan Cina diperkirakan akan menjadi isu yang paling signifikan bagi masa depan posisi AS dalam percaturan politik global dan regional. Tantangan strategis terbesar yang dihadapi AS adalah bagaimana merespon dan mengakomodasikan kebangkitan Cina sehingga negara ini dapat menjadi aktor dan mitra yang baik dalam menjamin stabilitas kawasan, namun pada saat yang sama, tidak menjadi tantangan bagi dominasi AS. Dalam hal ini, AS sendiri tampaknya masih dalam proses mencari format kebijakan dan strategi yang tepat. Proses ini antara lain tampak dari ketidakpastian dan ambiguitas dalam cara pandang Washington sendiri mengenai hakikat kebangkitan dan arti penting RRC bagi kepentingan AS, apakah sebagai ‘mitra’, ‘pesaing strategis’, sebagai ‘responsible stake-holder’, atau bahkan sebagai ‘musuh’ bagi AS di masa mendatang.

Ketidakpastian ini melahirkan strategi AS yang kerap disebut sebagai strategic hedging. Melalui strategi ini, AS bermaksud untuk membuka peluang bagi dirinya dalam mempertahankan hubungan ekonomi yang menguntungkan dengan RRC, sambil menangani ketidakpastian dan meningkatnya kerisauan di bidang keamananan yang ditimbulkan oleh kebangkitan Cina. Dengan kata lain, Washington menjalankan kebijakan yang kompetitif dan kooperatif sekaligus terhadap Cina, seraya mendorong Cina menjadi bagian dari norma, nilai dan institusi internasional yang berlaku sekarang. Peningkatan hubungan AS dengan negara-negara sekutu maupun dengan negara-negara yang dianggap bersahabat di berbagai kawasan merupakan bagian terpenting dari strategi hedging ini.

Strategi hedging ini antara lain tercermin dengan jelas oleh perkembangan dalam kebijakan AS terhadap Jepang dan India. Terhadap Jepang, AS mendorong negara itu untuk memainkan peran keamanan yang lebih besar. Kedua negara juga telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat hubungan aliansi diantara mereka. Dalam pandangan AS, India juga telah menduduki posisi strategis yang dapat membantunya dalam menjalankan strategi hedging. Melalui transformasi hubungan AS dengan Jepang, dan membaiknya hubungan AS dengan India, AS berharap dapat menciptakan sebuah kondisi yang membuat RRC untuk menjauhkan diri dari niat untuk merevisi tatanan global dan regional yang berlaku sekarang ini. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Condleezza Rice, "...adalah tanggung jawab kita untuk mencoba, mendorong, dan meyakinkan Cina agar mengambil sikap yang positif. Saya yakin, hubungan AS-Jepang, hubungan AS-Korea Selatan, dan hubungan AS-India sangat penting dalam menciptakan sebuah hngkungan yang akan membuat Cina memainkan peranan positif ketimbang negatif,” (Condoleezza Rice, 2005).

Posisi AS tampak cukup kokoh dengan adanya revitalisasi peran keamanan Jepang di satu pihak, dan kembalinya India sebagai aktor potensial di kawasan. Jepang mulai melakukan tinjau ulang atas posisi dan peran keamanannya dalam konstelasi strategis di Asia Timur. Jepang memiliki perhatian dan pandangan yang sama dengan AS mengenai Cina. Perubahan dalam kebijakan keamanan internasional dan pertahanan Jepang belakangan ini tidak dapat dilepaskan dari meningkatnya kekhawatiran Jepang terhadap faktor kebangkitan Cina ini. Di sisi lain, India yang kini semakin mengintegrasikan dirinya ke dalam kawasan Asia Timur, melihat kawasan ini sebagai bagian penting bagi perkembangan ekonomi dan posisi internasionalnya. Bagi India, meskipun persepsi mengenai ancaman Cina mulai menurun, kepentingan untuk mengimbangi kehadiran Cina tetap menjadi elemen penting dalam strategi India di kawasan. Namun, India berharap Beijing mau mengakui peran positif New Delhi di kawasan, dan tidak menentang kehadiran India di Samudera Hindia maupun di kawasan Asia Tenggara.

Penulis berpendapat bahwa Amerika akan selalu berusaha untuk menancapkan pengaruhnya dan bersaing untuk mengisi kekosongan, dalam berhubungan dengan negara-negara Asia. Akademisi konservatif Amerika seperti Samuel Huntington berpendapat bahwa dunia yang tidak didominasi Amerika akan penuh kekacauan, kemerostan ekonomi, dan menjadi semakin tidak demokratis. Intelektual Eropa Robert Kagan mengecam Eropa karena kurang mau membantu Amerika dalam mengemban tanggung jawab mulia untuk mengaransi keamanan dan kesejahteraan dunia. Sementara Deepak Lal, ekonomi dari Inggris, menambahkan bahwa dominasi Amerika pada dasarnya bersifat progresif karena memajukan dan memfasilitasi globalisasi –yang kini dirong-rong oleh kekuatan Islam radikal. Di Asia sendiri banyak tokoh, seperti Lee Kuan Yew dari Singapura, yang menganggap hegemoni Amerika merupakan prasyarat bagi kemamuran dan pembangunan Asia. Meskipun begitu jalan Amerika di Asia tidaklah mulus. Hegemonic behaviour Amerika juga ditentang oleh beberapa kalangan; hal ini dibuktikan dengan banyaknya protes bermunculan dari Korea Selatan, Jepang, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Setelah krisis ekonomi Asia, demonstrasi anti-IMF banyak bermunculan di negara-negara Asia Tenggara akibat gagalnya implementasi kebijakan IMF. Beberapa spekulasi yang disinyalir datang dari Thailand dan Indonesia mengasumsikan bahwa lembaa tersebut merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan modal Amerika. Di lain pihak, Jepang dan India terus berusaha dengan agresif dan kooperatif dalam kancah regional maupun internasional; sementara negara-negara tetangganya di tenggara sedang terpuruk. Balance of power intra-Asia ini akan terus berlanjut untuk menahan hegemoni yang muncul dari luar. Maklum saja, negara-negara di Asia Timur maupun Tenggara tidak mau jadi satelit atau perpanjangan dari negara-negara besar di luar Asia. Maka dari itu balance of power concert ini dapat dipandang sebagai trigger bagi regionalisme yang memiliki dua sisi. Meminjam istilah Ernst B. Haas, pertama, trigger dapat menimbulkan efek spillover yang berdampak pada peningkatan integrasi atau organisasi-organisasi, timbul perlimpahan, peningkatan derajat kerjasama dan mendorong penyatuan politik; kedua, sebagai trigger timbulnya spillback atau spillaround, yang tidak menimbulkan regionalisme tapi justru menimbulkan friksi yang berakibat kehancuran atau mugnkin stagnansi yang menghalangi proses penyatuan. Dampak spillback ini sebenarnya sudah dapat mulai dirasakan, melihat disparitas yang semakin menjadi antara negara-negara Asia Timur dengan negara-negara di Asia Tenggara. Meminjam barometer ekonomi sebagai ukuran kesejahteraan, lihat saja Jepang yang sedemikian makmur dengan Myanmar yang masih dikuasai diktator berwujud junta militer dengan tingkat kesengsaraan yang mengenaskan.

Kerjasama intra dan inte-regional sudah dilakukan dan tetap saja disparitas masih ada. Dari sini dapat dianalisa, di mana sebenarnya letak kesalahan atau kekurang tepatan implementasi kebijakan; atau kesalahan terletak pada faktor pelaksana kebijakan. Meminjam kacamata realis dinamik (Makmur Keliat, 2007), saya sepakat dengan pernyataan bahwa proses kerjasama intra-regional ASEAN+3 tidak membutuhkan adanya penyerahan kedaulatan pada otoritas yang lebih tinggi. Penyerahan kedaulatan hanya akan mengurangi keluwesan dan kapabilitas negara-negara anggot dalam beraktivitas dan mungkin akan justru jadi alat untuk memeprluas ambisi nasional negara anggota. Oleh karena itu teoritisi realis dinamik memandang bahwa organisasi yang muncul dari suatu kerjasama regional bukanlah merupakan alternatif terhadap suatu sistem internasional yang berpusat pada negara (state-centered international system). Dengan ini, ada beberapa poin utama yang dapat kita petik dari pengguna lensa realis dinamik.

Pertama, regionalisme sesungguhnya merupakan tanggapan dari negara untuk memperkuat dirinya ketika kompetisi ekonomi semakin meningkat. Kerjasama yang dilakukan tidak hanya berdasar pada manfaat absolut (absolute gain), tapi juga manfaat relatif (relative gain). Artinya suatu negara tidak sekedar berpikir bahwa ia akan diuntungkan atau tidak dari suatu kerjasama, tapi apakah manfaat yang akan diperolehnya lebih besar atau lebih kecil dibanding negara lainnya. Jelas bahwa kompetisi ekonomi global bahkan krisis sekalipun dapat emndorong timbulnya kerjasama ekonomi regional berupa suatu pasar terproteksi tanpa adanya regionalisasi sekalipun (Asia Timur misalnya).

Kedua, kerjasama ekonomi dan politik pada tataran regional membutuhkan kehadiran saru atau beberapa entitas politik yang bersedia menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mempromosikan kerjasama tersebut. Ini berarti harus ada negara-negara yang memiliki ambisi regional yang dapat diterima negara lain sebagai promotor dan pendorong kerjasama regional.

Dikarenakan beberapa poin yang disampaikan di atas, penulis tidak begitu yakin akan adanya keberhasilan proye regionalisme baik di Asia Tenggara maupun Asia Timur. Dalam regionalisme, kesejahteraan dan kepentingan nasional lah yang dipertaruhkan; penulis tidak melihat adanya tanda-tanda bahwa satu negara yang lebih maju akan menunggu negara lain yang kapabilitasnya tidak setara; apalagi memberi donasi bagi negara yang ‘kurang’[4]. Sekali lagi poinnya adalah bahwa keselamatan bangsa adalah yang terpenting, gaining power process juga penting. Seperti halnya yang dilakukan Cina, Jepang dan Korea Selatan dalam ASEAN+3 yang berusaha menghimpun kekuatan, mengenali karakter rival (Cina berusaha mengenali Jepang, Korea dan ASAN; begitu juga sebaliknya), menanamkan pengaruhnya dan bila sudah matang akan dirangkul dan dijadikan suatu tameng kekuatan menahan hegemoni eksternal (Amerika).

Melihat poin kedua dari kacamata realis dinamik, penulis beranggapan bahwa absennya aktor hegemon tetap di Asia mempersulit adanya integrasi. Fenomena yang ada di Asia adalah tarik ulur kekuasaan dan perebutan poweri sehingga tidak memungkinkan adanya ground yang settle untuk bekerjasama. Beberapa faktor yang penulis kira menjadi penyebab belum terjadinya regionalisme di Asia adalah, 1) aktor-aktor besar di kawasan Asia saling berebut pengaruh dan kekuasaan, sehingga mereka saling jegal dan kurang kooperatif; 2) kapabilitas satu negara dengan yang lain tidak sama, sehingga regionalisasi tidak mungkin berjalan; 3) regionalisasi sendiri selama ini hanya menjadi prioritas retorika saja, karena buktinya belum ada suatu kerjasama signifikan baik inter maupun intra regional Asia. Yang justru terjadi adalah negara-negara Asia Timur dan Tenggara saling berebut pengaruh agar bisa jadi anak kesayangan Amerika; seperti Malaysia yang memfasilitasi pasokan militer AS di Selat Malaka dan Singapura yang mengijinkan berdirinya pangkalan militer AS di sana. Kerjasama AS-Jepang malah sudah berumur jauh lebih tua dan masih teus berjalan. Intervensi eksternal semacam ini, terutama di bidang keamanan, jelas menjadi tembok penghalang bagi terujudnya regionalisme.

 


REFERENCES

 

Keliat, Makmur, 2007, “Pelembagaan Kerjasama Regional di Asia Timur”.

 

Medeiros, Evan S., "Strategic Hedging and the Future of Asia-Pacific Stability", Washington Quarterly, Vol 29, No. 1 (Winter 2005-2006), p. 146.

 

Percival,  Bronson. (2007). “The Dragon Looks South: China and Southeast Asia in the New Century”.

 

Rice, Condolleezza, “Secretary od Freign Affairs’ Speech“ at Sophia University, Tokyo, 19 March 2005,  www.state.gov/secretary/rm/2005/43655.htm accessed on 27 June 2008.

 

Shambaugh, David, "The Rise of China and Asia's New Dynamics," in David Shambaugh, ed., Power Shift: China and Asia's New Dynamics, 2005, Berkeley: University of California Press, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/11/25/0024.html  accessed on 27 June 2008.

 

www.aseansec.org accesed on 27 June 2008.

 



[1]  Suatu mekanisme kerja sama antara negara anggota ASEAN dengan para mitra dialognya yang berada di luar ASEAN; dibentuk akibat adanya kesadaran semakin meningkatnya ketergantungan di Asia Pasifik (Dr. Bambang Cipto, 2007). Selain Cina, ARF beranggota Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Kanada, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, dll. Fungsi dan tujuannya antara lain sebagai alat untuk membangun perdamaian dan stabilitas di kawasan ASEAN, menumbuhkan dialog dalam mengatasi berbagai persoalan keamanan di kawasan Asia Pasifik, sebagai forum konsultasi multilateral untuk mempromosikan preventive diplomacy, menumbuhkan rasa saling percaya antar negara-negara di kawasan Asia Pasifik, serta mempengaruhi dan mengkondisikan tatanan regional ASEAN. (www.aseansec.org).

[2]  Direktur The Asia Pacific Studies Department di Shanghai Institute for International Studies.

[3]  Penulis “The Strengthening Japan-India Axis”.

[4]  Seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju di Uni Eropa. Pada masa awal bergabungnya negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni Eropa, perekonomian mereka masih kacau dan negara anggota Uni Eropa yang sudah lebih settle berinisiatif mendonasi serta meng-handle perekonomian di negara-negara itu, dengan kompensasi kebijakan perekonomian dan perdagangan negara-negara tesebut ditentukan oleh cartel elite Uni Eropa. Hal ini mungkin terlaksana karena di Uni Eropa sudah ada konstitusi, lembaga legal formal dan pengambil keputusan yang jelas sehingga memudahkan adanya regionalisasi. Hal ini hanya mungkin jika masing-masing negara menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada otoritas yang lebih tinggi.

1 komentar:

  1. ada yang mo ditanyain nih
    tentang strategi kooperatif keamanan negara RRC dalam ARF
    ancamannya itu apa yah?
    apa dia masuk ARF gara2 ada ancaman dari luar?trus kalo iya, ancamannya apa yah?

    BalasHapus